Minggu, 18 Januari 2015

PENERAPAN “HAK IMUNITAS” BENTUK TINDAKAN MENCIDERAI HUKUM





 BY. KISMAN 2000
 KM. Walet Selatan.
Setelah Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang DESA disahkan di Jakarta tertanggal 15 Januari 2014 dan lebih lanjut diundangkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014. Kemudian secara berturut-turut dijabarkan ke dalam PP No. 43 jo PP No. 60/2014, maka sejak terhitung Tahun 2014 Pemerintah baru menyerahkan Hak Otonomi kepada DESA, pada hal secara konstitusi Desa sejak Negara Indonesia merdeka telah memiliki kedudukan kuat dan bersifat fundamental melalui azas Rekognisi didalam konstitusi yaitu pengakuan hak asal usul dan adat istiadat yang dimilikinya sebagaimana penegasan lebih lanjut pengakuan di dalam ketentuan umumnya UU No. 6/2014 :


“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Memasuki masa berlaku efektifnya UU No 6/2014 kendati masih ditunggu jabaran di dalam Permendagri dilanjutkan dalam Peraturan Daerah (PERDA), baik yang dilakukan dalam bentuk revisi terhadap PERDA yang sudah ada maupun dirumuskan baru perlu dikedepankan pertimbangan rasa keadilan hukum dengan tidak adanya unsure kesengajaan melemahkan hukum atas nama hukum. Sebagaimana ketentuan regulasi yang pernah ada, seperti keberadaan PERDA No. 6/2006 maupun PERDA No. 7/2006 memiliki kecenderungan menciderai hukum dan bahkan berpotensi melemahkan hukum, dengan meletakkan pasal yang memberi kekebalan “IMUNITAS” untuk Kepala Desa dan Anggota BPD dalam menghadapi proses hukum jika tersangkut tindak Pidana. Untuk mencegah terciderainya AZAS EQUOLITY HUKUM  yang artinya menempatkan kesamaan hak dan kedudukan di depan hukum. Azas hukum tersebut merupakan jaminan konstitusi, sebagaimana pengakuan yang mempertegas tanpa pengecualian di dalamnya. “Setiap warga Negara sama di depan hukum………..”.

Namun berdasarkan pengalaman yang ada bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Bima sebagaimana otoritas yang dimilikinya telah menetapkan Peraturan Daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan DESA, sebagai bentuk pelaksanaan kewenangannya diantaranya dengan membuat PERDA No. 6/2006 jo PERDA No. 7/2006 dengan memberikan ruang untuk adanya penerapan “HAK IMUNITAS” kepada Kepala Desa dan anggota BPD sehingga menciderai hukum. Kendatipun berbentuk perlunya persetujuan/ijin  dari Bupati, jika Kepala Desa dan Anggota BPD tersangkut masalah hukum walaupun adanya pengecualian.

Sebagaimana ketentuan PERDA No. 6/2006 Tentang Tatacara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa yang diatur di dalam BAB VIII Pemberhentian Kepala Desa :
“ Pasal 29
(1) Tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa, dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati;
(2) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b. Diduga telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati.
(3) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberitahukan secara tertulis oleh atasan penyidik kepada Bupati paling lama 3 (tiga) hari.”

Adanya kecenderungan yang terjadi dalam penerapan otonomi seolah menjadi alasan untuk memberi garansi dalam menggunakan kebebasan. Sebagaimana ketentuan Perda tersebut, dapat memberi makna adanya sikap perbedaan perlakuan hukum antara warga Negara. Hanya lantaran punya posisi menjadi bahagian dari instrument Pemerintahan lantas menjadi alasan adanya perlakuan yang beda dan atau dibeda-bedakan.

Sebagaimana ketentuan PERDA NO. 7/2006 Tentang Badan Permusyawaratan Desa BAB VI  Tentang Tindakan Penyidikan Terhadap Anggota BPD yang dirumuskan di dalam:

“ Pasal 25
(1) Anggota BPD tidak dapat dituntut secara hukum karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam Rapat BPD yang diajukan secara lisan dan / atau tertulis;
(2) Tindakan penyidikan terhadap anggota BPD dilaksanakan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Bupati;
(3) Hal – hal yang di kecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah :
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b. Diduga telah melakukan tindak Pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati.
(4) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan oleh atasan Penyidik kepada Bupati selambat –lambatnya 3 (tiga) hari.”

Tahun 2014 merupakan tahun emas bagi DESA, setelah ditandai adanya pengakuan Negara atas terealisasinya hak konstitusi yang dimilikinya, karena eksistensi Desa telah memiliki kedaulatan dalam menggunakan hak dan kewenangan mengatur dan mengurus untuk kepentingan masyarakatnya dalam ikhtiar mendorong akselerasi pembangunan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi tidak juga dimaknai sebagai kesempatan untuk melaksanakan kekuasaan yang meletakkan kewenangan sampai melemahkan posisi hukum, meskipun salah satu fungsi hukum itu sendiri sebagai alat rekayasa social.
Hakekat Otonomi Desa adalah merupakan upaya mendekatkan, memudahkan dan mempercepat pelayanan serta memberi ruang partisipasi secara luas bagi masyarakat untuk mencapai kemajuan dan kemandirian Desa sebagai representasi kemajuan negara. Maka dalam perumusan berbagai regulasi perlu menerapkan pola partisipatif secara legal drafting, agar masyarakat sadar akan adanya aturan yang akan mengikatnya. Untuk menunjukan komitmen atas pengakuan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara hukum, maka bukan alasan kewenangan dan otonomi sehingga ada motivasi untuk melemahkan hukum.

Adanya kecenderungan yang terjadi dalam penerapan otonomi seolah menjadi alasan untuk memberi garansi dalam menggunakan kebebasan, termasuk adanya kebebasan membuat Peraturan dengan sengaja menyiasati hukum guna memberi pemihakan terhadap para aparat pemerintahan serta para fungsional hukum lainya. Sebagaimana penjabaran Pasal tersebut diatas tidak sedikit memberi ruang Kepada Para Kepala Desa dan Anggota BPD yang memiliki kasusnya mangkrak. Karena celah hukum tersebut membuka ruang untuk bisa memperlambat atau menghambat proses penanganan sampai mengkaburkan makna keadilan sebagai capaian penegakan hukum.

Perbedaan perlakuan hukum sebagaimana hal tersebut diatas menggambarkan adanya “HAK IMUNITAS” bagi Kepala Desa dan Anggota BPD dengan perlunya persetujuan/ijin Bupati sebagai atasannya, baru bisa dilakukan proses oleh pihak penyidik. Padahal dengan tegas dan jelas pengakuan konstitusi menempatkan seluruh warga Negara adalah sama kedudukannya didepan hukum dan Pemerintahan, tanpa adanya pengecualiannya bagi setiap warga Negara. Jikapun harus dilakukan perbedaan maka akan perjelas adanya pembagian classter warga Negara, sehinga untuk memenuhi rasa keadilan dalam penerapan hukum. Agar adanya keadilan sebagai warga masyarakat biasa jika tersangkut hukum merasa perlu adanya “SUAKA HUKUM MUTLAK” setidak-tidaknya harus menunggu persetujuan/ijin dari Allah SWT.

Maka untuk adanya ikhtiar bersama dalam penegakkan hukum tanpa memihak dalam rangka mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh warga Negara. Hingga penting mengantisipasi adanya upaya menciderai hukum, perlu tindakan antisipasi dengan tidak memberi ruang lagi pada regulasi untuk menetapkan aturan yang menciderai “AZAS EQUOLITY FOR LAW” (Pengakuan Persamaan kedudukan di depan hukum), maka Kepala Desa maupun Anggota BPD tidak merasa penting untuk menjadikan PERDA tersebut sebagai tameng. Termasuk Pasal-pasal pada PERDA No.6/2006 dan PERDA No.7/2006 tersebut diatas perlu dilakukan revisi dan atau dicabut sekalian, agar tidak tercipta kondisi perbedaan sebagai warga negara. Begitu pula adanya ketentuan perundang-undangan lain yang memberi “KEKEBALAN HUKUM” kepada para penyelenggara Negara lainnya perlu dilakukan peninjauan kembali.@Q2000/2015.
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar