Minggu, 04 Januari 2015

MEDIA DAN KONTRUKSI WACANA




 By : Ruslan Parado
KM, Walet Selatan.
Media massa merupakan salah satu sarana bagi masyarakat sipil untuk dijadikan sebagai suatu wahana untuk mendapatkan Informasi dari berbagai belahan Dunia manapun. Karena kemampuan Media melampaui kekuatan Supranatural, sehingga masyarakat sipil berbondong-bondong menjadi konsumen media massa (cetak maupun elektronik). Ada Adigium yang cukup terkenal di Jurnalistik yaitu “siapa yang menguasai informasi (media) maka ia menguasai dunia”. Begitulah istilah yang santer kita dengar. Istilah seperti ini memang tidak muncul dengan tiba-tiba melainkan muncul berdasarkan pada realitas kehidupan di masyarakat yang dituntut untuk melek terhadap informasi.

Mungkin kita masih ingat pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun kemarin (09/April/14), antara dua kandidat yang diusung oleh masing-masing Partai Koalisi. Dengan menggunakan kekuatan media massa, kedua calon dipublikasikan sebagai figur dengan berbagai Kredibilitas macam-macam. Konstruksi media terhadap figur dengan menanamkan Ideologi dan kesamaan nasib, mampu meraih suara dengan Elektabilitas melampaui Nalar rasio. Secara tiba-tiba mereka tampil bak Pahlawan yang akan memberikan solusi kepada rakyat kecil, tentang Kesejahteraan, Pelayanan Kesehatan, Pendidikan, Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat dan sebagainya, Menjadi jualan politik yang cukup laris manis.

Kemampuan media mencitrakan tokoh dengan berbagai label, tentu menjadi suatu fenomena yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. mengingat media adalah sarana publik yang harus Independent sekaligus memberikan Pendidikan Politik terhadap Masyarakat, bukan malahan ikut berkontribusi melakukan Stigmatisasi atau penjajahan kepada masyarakat. Dua figur yang bertarung di arena kontestsi panggung politik, adalah orang-orang dengan memiliki kans politik (Cost Politik) yang besar, dengan sokongan Media Massa yang berafiliasi dalam beberapa partai tertentu sehingga Distribusi Informasi sangat cepat sampai kepolosok desa. Jokowi dengan jargon kerja, kerja dan kerja berpihak kepada wong cilik, apalagi sebagian besar dari penduduk indonesia berasal dari kelas menengah ke-bawah, sehingga hanya dengan menggunakan sedikit strategi blusukan maka ia sudah mendapatkan banyak pendukung dari grass root. Walau pada ujung-ujungnya jokowi menaikan harga BBM dengan berbagai dalih dan rasionalisasi neolib.

Tentu menjadi calon presiden tidak hanya cukup memiliki modal muka ndeso, penampilan sederhana, blusukan dan pandai bernegosiasi dengan pedagang kaki lima. Akan tetapi disinilan peran media massa membangun (Konstruksi) citra Jokowi sebagai calon yang dinantikan oleh masyarakat. memang masyarakat membutuhkan figur yang benar-benar dari kelompok mereka memperjuangkan aspirasi rakyat seperti disebutkan diatas tadi. Namun dengan sedikit polesan media maka ia tampil sebagai Ratu Adil bagi masyarakat, ditengah carut marutnya bangsa indonesia dengan kasus Korupsi dan segudang masalah pembangunan yang harus diselesaikan. Hampir tidak mungkin seorang politisi menjauhkan diri dari Publisitas, yang mengangkat namanya dipentas nasional. Seoarang politisi harus menjadikan media sebagai mitra yang baik, saling memberikan Konstribusi yang bersifat Simbiosis Mutualisme, agar tetap eksis dan dikenal oleh masyarakat luas. Sebab media mampu menggoreng-goreng seseorang menjadi Supestar dan sekaligus dikucilkan oleh masyarakat. bagai dua sisi mata uang yang berbeda satu sama lain.

Relasi kuasa bermain pada tataran media sedikit tidaknya mempengaruhi konten berita, karena sudah barang tentu media membutuhkan hubungan yang baik dengan birokrasi agar tetap eksis. Kalau tidak demikian bisa jadi sepi dari pelanggan dan dipersulit oleh birokrasi setempat. Sudah menjadi watak birokrasi agar kekuasaannya tetap aman dan tidak digaruk-garuk oleh tetangga, maka media harus ditutup mulutnya dengan lembaran-lemabaran rupiah. Citra dan nama besar harus tetap dipertahankan walau harus menghabiskan anggaran jutaan, dengan cara seperti ini.

Mereka bisa mempertahankan diri dari bisingnya pemberitaan. Sebab jika dipublikasikan file-file hitamnya maka dengan seketika ia jatuh dan sulit untuk bangun kembali. Karena opini publik akan menjustice sebelum ketukan palu dari hakim. Disinilah Independensi media dijual dengan harga yang layak agar dapur rumah tangga tetap mengepul dan perut anak istri dirumah dapat dipenuhi kebutuhan dasarnya.

Menyandarkan diri pada media mainstrem, sama halnya membiarkan diri dalam ketololan. karena kita tidak akan mendapatkan informasi yang berimbang, sehingga proses pendidikan politik tidak bisa berjalan dengan baik. Pilar ke-empat dari negara model Demokrasi adalah media massa, sehingga besar harapan masyarakat untuk mengembalikan marwah idealisme media keasalnya, bukan malah justru menjadi corong atau perpanjangan tangan dari birokrasi yang korup. Pada saat pemilu dan pasca pemilu presiden dan wakil presiden, kedua media mainstrem antara Metrotv dan TVONE beraviliasi kedalam kandidat yang berkontestasi di panggung politik. Jika masyarakat ingin mencari berita seputar kebaikan dan kesuksesan jokowi selama menjadi walikota solo dan gubernur DKI Jakarta maka tinggal menyetel chanel Metrotv. Begitupun sebaliknya jika prabowo yang ingin diketahui trect recordnya maka TVONE jawabannya.

Media mampu memainkan peran sentralnya untuk menggiring opini publik, mendukung salah satu kandidat yang sudah dikemas sedemikian rupa, agar tampil dengan jargon-jargon yang sudah disetting dari awal. Apa yang disebut oleh filsuf postmodernisme Jeand Baudrilart sebagai “Hiperrealitas”. Dimana kemampuan media mendesain figur didepan layar kaca sebagai orang yang memang layak untuk dipilih. Padahal sebenarnya apa yang ditampilkan dimedia belum tentu benar adanya. Karena di dalamnya bukanlah realitas yang sebenarnya melainkan realitas yang dikonstruksi sejak awal sehingga dikonsumsi oleh masyarakat luas tanpa adanya proses filterisasi secara berjenjang. Namun apakah dengan keadaan media kita diidonesia sudah seperti ini, lalu kita tidak menjadi konsumen media tersebut. Penulis rasa di jaman modern saat ini dimana dunia sedang mencari bentuk kemjauan (peradaban), maka teknologi merupakan salah satu sarana yang efektif dalam upaya manusia mengarah ke-arah kemajuan, sehingga kita sebagai konsumen dituntut untuk melek terhadap informasi. Maka jalan yang dapat ditempuh adalah dengan membaca media secara kritis, bukan malah mematikan televisi. Penulis berharap media walet selatan menjadi jembatan, untuk menumbuh kembangkan pembaca kritis dengan konten berita yang tidak biasa-biasa saja.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu politik Uin Alauddin Makasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar