Kamis, 29 Januari 2015

UTHOPIS DESA AKIBAT POSISI AMBIVALENSI DALAM PENERAPAN OTONOMI

Oleh : Kisman2000

Di dalam bebagai regulasi telah diberi pengertian dengan jelas dan gamblang tentang definisi Desa, sehingga tidak lagi memberi ruang untuk ditafsirkan berdasarkan selera subyektif lainya, baik atas dalil kekuasaan komunal dan apapun namanya sejauh ketentuan yang menjadi payung hukumnya belum dilakukan revisi/perubahan yang menyangkut materi aturan mengatur definisi lain. Sehingga hal tersebut dapat menjadi ukuran kita memiliki sifat mental yang konsisten atau sebaliknya dalam menjalankan aturan yang kita produk sendiri.

Maka sebagai landasan dalam uraian ini dipandang sepatutnya untuk dikemukakan tentang definisi Desa dan Daerah Otonom berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, dimana di dalam ketentuan umumnya disebutkan bahwa :

”Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Sebagai bahan komparasi secara tekstual dari definisi tentang Desa tersebut, maka dipandang perlu untuk diketengahkan uraian definisi Daerah Otonom dalam memudahkan kita untuk menelusuri posisi Desa dalam perspektif Otonomi Daerah yang secara spesifik dikaitkan dalam bentuk implementasi dari amanat ketentuan Regulagisi yang ada.

“Daerah Otonom selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Jika pada giliranya kita mengupas hal tersebut dengan menggunakan segala potensi ketajaman pisau analisa, maka akan ditemukan pengakuan tentang Kedaulatan Desa dari Negara bukan dari Daerah, karena baik secara Eksplisit maupun secara inplisit Desa dan Daerah pada posisinya menjadi relatif sama. Namun dalam prakteknya justeru berada dalam kondisi yang berbeda, Daerah memiliki peran yang relatif besar mendominasi Desa sehingga posisi Desa menjadi SUB ORDINAT dalam implementasi Otonomi.

Segala bentuk aktifitas Pemerintahan Desa selalu diatur oleh Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk menjalankan hak dan kewenangannya. Desa diposisikan sebagai SUB-SISTEM  Pemerintahan Daerah, padahal jika kita mengacu pada regulasi yang ada maka desa memiliki hak OTONOM sebagaimana daerah memilikinya, namun demikian kecenderungan daerah masih separuh hati untuk memberikan kewenangan secara penuh sehingga Desa dengan segala kondisi ke-tak-berdaya-an akibat teramputasi hak-haknya sehingga berada dalam kondisi  PASRAH TAPI TAK MERELA”.

Kedudukan dan kewenangan Desa yang terelaborasi pada regulasi tersebut sebagai bentuk pengakuan oleh Negara melalui Pemerintah Pusat atau disebut Pemerintah baik tentang kedudukan Desa yang secara Eksistensi dan Esensial  di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa berada pada gerbang yang secara teritorial pada wilayah Otonom III (tiga), setelah daerah Kabupaten/Kota sebagai wilayah Otonom II (dua) dan Provinsi wilayah Otonom I (satu) yang diserahi dan atau di delegasikan oleh Pusat/Nasional atas nama Negara dengan mendasarinya atas Azas Rekognisi, Azas Desentralisasi dan Azas Dekosentrasi.
TINJAUAN ASAS DESA

Asas Rekognisi  berarti mengakui bentuk, hak dan kewenangan asal usul (otonomi asli). Apabila desa diberi kedudukan sebagai komunitas yang mengatur dirinya sendiri berdasarkan asal usul dan hak-hak tradisionalnya maka kewenangan yang dimiliki oleh desa adalah kewenangan asli.

Asas Desentralisasi  berarti membentuk desa otonom dan menyerahkan kewenangan kepada desa otonom, seperti halnya daerah otonom. Apabila desa ditempatkan sebagai wilayah otonom tingkat III, maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “diserahkan” dari pemerintah atas nama Negara.

Asas Dekosentrasi  berarti pendelegasian/pelimpahan dan membentuk desa yang disertai tugas pembantuan. Apabila desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “didelegasikan” oleh pemerintahan atasannya atau tugas pembantuan.

TELAAH REGULASI

UUD 1945 : Pasal 18 memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan membagi wilayah (desentralisasi teritorial) ke dalam provinsi dan kabupaten/kota serta tidak secara eksplisit menyuruh UU 32/2004 meletakkan desa (atau nama lain) dalam subsistem kabupaten/kota. Tetapi UU 32 justru meletakkan desa dalam subistem kabupaten/kota, maka secara hirarki kedudukan UU 32/2004 dalam pengaturan penempatan Desa menjadi sumir.

Eksistensi UU No. 32/2004  : Pasal 2 ayat 1 berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah” dan Pasal 200 ayat 1 berbunyi: “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa”, maka setelah pembentukan Pemerintahan Desa dan atau sudah ada, sehingga layaknya memiliki kedudukan sama dalam Otonom.

Esensi UU 32/2004 : mempertegas “otonomi asli” sebagai prinsip pemerintahan desa. “Otonomi asli” berarti identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat atau hanya Desa Adat. Kalau desa adat berarti desa bukan unit administratif atau satuan pemerintahan. Tetapi dengan mengacu pada bentuk dan pengalaman desa-desa di Jawa, UU juga menempatkan desa sebagai satuan pemerintahan. Sehingga satuan pemerintahan yang diberikan hanya “desa administratif” (the local state government) seperti kelurahan sebagai SKPD Kabupaten.

Secara Teoritis : tidak dibenarkan otonomi dalam otonomi atau desa dalam kabupaten. Sebab yang mengakui (rekognisi) dan memberikan (desentralisasi) adalah negara melalui pemerintah nasional (pusat), maka realitas yang ada telah terjadi pengingkaran sehingga  POSISI DESA AMBIVALEN.

TEAM IRE Fundasion Yogyakarta dalam telaah kritis isu-isu strategis tentang Desa, telah berhasil merumuskan sebuah kajian akademik rancangan regulasi tentang Desa sebagai bentuk antissa atas inkonsistensi penerapan regulasi Daerah Otonomi yang berdampak pada kondisi UTHOPIS DESA, sehingga dengan besar harapan adanya aturan yang ideal untuk Desa. Kendatipun disadari bahwa aturan dibuat dalam racikan bahan-bahan yang berkwalitas dan ditulis dengan tinta emas sekalipun semuanya akan berpulang pada sikap konsistensi dan komitmen Pemerintah atasan yang diejawantahkan pada Political will dan Political aksen. @Q2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar