Selasa, 27 Januari 2015

KONFLIK SEBAGAI BENTUK DEVIASI SOSIAL CIRI MASYARAKAT ANOMALI




oleh : KISMAN 2000

Secara filsafat bahwa Manusia dalam eksistensi dirinya menggambarkan “AKU ADA KARENA ADANYA AKU-AKU LAIN” maka maknanya adalah betapa manusia itu merupakan mahluk yang bersifat SOSIAL (bermasyarakat/berkelompok/komuni) yang memiliki saling ketergantungan dalam relasinya, sehingga Manusia tidak akan bisa bertahan hidup tanpa adanya Manusia lain.


Sungguh harapan ideal terciptanya kondisi keharmonisan tersebut adalah suatu keniscayaan. Namun realitas cenderung memberikan gambaran yang justeru sangat kontradiktif, banyak kejadian dibanyak wilayah yang membuat kondisi ketegangan social seperti pecah Konflik Sosial, baik atas nama Suku, Ras dan Agama. Maupun dengan nama dan motif lain yang memberi kesan sadis dan memilukan sudah begitu merebak dibeberapa wilayah Indonesia, lebih khusus yang terjadi di Kabupaten Bima belakangan ini. Atas kejadian tersebut tidak sedikit menimbulkan kerugian dalam bentuk Materi dan Non Materi, berupa korban harta dan nyawa.

Beragam pandangan tentang Kondisi masyarakat yang memiliki kecenderungan bersikap dan bertindak mengarah pada bentuk Pertikaian, keributan, perselisihan dan pada giliranya menjadi sebuah kondisi konflik. Ahmad Usman, M.Pd dalam pandangannya mengatakan “bahwa masyarakat yang memiliki ciri dan corak seperti itu disebut “MASYARAKAT ANOMALI” dengan menegaskan ciri dan bentuknya adalah masyarakat yang mengalami loncatan budaya”. Berbagai variable yang mempengaruhinya telah dipetakan melalui tahapan identifikasi secara cermat, salah satunya adalah adanya bentuk penyesatan pemaknaan sebuah kebebasan, serta adanya pergeseran nilai social yang dianut. Seperti Nilai Soslidaritas, Gotong Royong dan Rasa Empaty yang disalah arahkan untuk dimanfaatkan dalam bentuk negative, sehingga tidak disadari juga manakala adanya kebiasaan masyarakat yang dengan bangga menceritakan kehebatan dalam hal yang berbentuk Negatif dan sekaligus dianggap sebagai prestasi.

Senada dengan hal tersebut diatas Kartini Kartono, dalam Patalogi Sosialnya, memandang hal tersebut sebagai bentuk “DEVIASI SOSIAL” yaitu dimana masyarakat berada dalam kondisi sakit secara Sosial. Secara mendasar manusia memiliki Carakter dan Cultur yang cenderung libido penguasaan terhadap comunni lainya menjadi dominan. Sehingga kesan yang dirasakan adalah manusia menjadi cenderung sama dengan PREDATOR, bentuk gambaran perasaan bebas dan Bar-bar-an serta terobsesi memberi kesan dan gambaran sama dengan kondisi habitat Predator Sungai Amazon “Homo homoni lupus” manusia menjadi pemangsa bagi manusia lainnya. 

Meningkatnya frekwensi kerawanan social adalah suatu realitas yang tak terbantahkan, olehnya demikian membutuhkan cadangan potensi ketajaman pisau anailisa dalam ikhtiar untuk merumuskan langkah pencegahan dan penanganan. Dalam rangka untuk membangun kontruksi analisis, maka perlu dilakukan penempatan posisi konflik sebagai bagian dari akibat sehingga focus telaahannya diarahkan pada upaya penggalian sebab-sebab munculnya konflik sebagaimana teory problem solving. Mengarus-utamakan potensi analisis mencari fariabel dominan yang mempengaruhi dan mendorong timbulnya konflik, dari pada sekedar merumuskan pelabelan kondisi masyarakat yang dihubungkan dengan kejadian atau peristiwa konflik yang terjadi. Karena dengan merumuskan pengertian dan definisi secara ilmiah bukan sebagai jawaban atas kondisi yang ada, betapapun kita menyadari bahwa hal itu memang dibenarkan dan diperlukan.

Masyarakat Anomali atau kondisi Deviasi yang kemudian disimpulkan sebagai bentuk kondisi Patalogi Sosial, tetapi jika ditinjau dari sisi historys bahwa memang peradaban manusia memiliki libido saling menguasai dan melakukan upaya penundukan manusia yang satu terhadap yang lainnya. Seperti yang masih segar dalam ingatan kita, terjadi saling serang masyarakat di Kecamatan Woha, Monta, Langgudu dan Belo serta belahan lain yang sampai menjadi berita Nasional serta tak menutup kemungkinan menjadi berita Internasional.

Begitu juga dalam tinjauan secara empiric, bahwa adanya kecenderungan sekarang orang merasa bangga menceritakan segala hal yang buruk seolah sebagai sebuah prestasi. Maka tak heran lagi dilingkup relasi terungkap tanpa sadar maupun secara sadar seseorang menceritakan pengalaman yang bersangkutan melakukan tindakan kejahatan yang pernah dilakukannya dengan motif berharap adanya pengakuan dalam komunitas tentang kehebatan dirinya dengan harapan mendapat pengakuan sebagai Preman.

Fenomena kondisi premanisme adalah gambaran kondisi yang tak jauh dari kita, tetapi hal tersebut seolah menjadi nilai prestise tersendiri terhadap yang bersangkutan dengan bermodalkan tampilan sangar dan celaka lagi kalau hal tersebut seolah tak dianggap sebagai masalah, bahkan secara perlahan hal ini akan mendapat pengakuan dan diposisikan sebagai sebuah profesi bonafit.

Tinjauan histoys bahwa preman telah ada sejak peradaban manusia, dimana pada jaman nabi saja keberadaan preman telah banyak mengambil peran. Seperti sosok UMAR BIN KHATAB pada jaman Nabi Muhammad, Saw dengan gelaran SINGA PADANG PASIR yang kemudian dinobatkan sebagai salah seorang sahabat terdekat dan kemudian didaulah menjadi Khalifah untuk memimpin sutu negeri, sampai sekarang pun kondisi ini berlangsung dan tidak sedikit para pembesar/pejabat atau tokoh membutuhkan dampingan orang-orang seperti itu lalu pada gilirannya cenderung menjadi biangnya. 

Motif dan modus kejadian konflik beragam, namun dapat digali lebih dalam lagi ternyata relative dari hal-hal sepele dan modus Agresi yang bersifat massif serta pola pengroyokan menjadi cara yang efektif untuk dilakukan dalam berbagai kejadian konflik selama ini, lalu posisi hokum dipandang menjadi lemah, terbukti banyak kejadian yang mengatas-namakan aksi massa hokum tidak berdaya karena telah diperdayai,  tetapi hampir setiap kejadian relative dimotori oleh orang-orang begundal yang berperawakan preman, maka fenomena ini membutuhkan cadangan energy banyak pihak karena ancaman yang cukup besar bagi kehidupan social adalah jika suatu kejahatan telah terbentuk dan dilaksanakan secara terorganisir dan mapan serta bersifat sindikat, maka stelselnya sulit di identifikasi. @Q2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar