Kamis, 22 Januari 2015

Demokrasi dan Gerontokrasi Opini

oleh
Hasrul Harahap*
 KM. Walet Selatan
Dalam Pembangunan kehidupan berdemokrasi seyogiyanya rakyat Indonesia dan elit politik mengucapkan terimakasih kepada salah seorang pendiri negara kita yaitu Mohammad Hatta. Dengan tidak mengecilkan peran dan pemikiran tokoh-tokoh yang lain, lihat saja bahwa Mohammad Hatta peletak dasar demokrasi Indonesia yang sesungguhnya. 

Dalam mengembangkan pemikiran demokrasinya yang sering kita sebut demokrasi rakyat, beliau tidak terjebak terhadap pola demokrasi ala Barat yang sangat liberal dan kapitalistik. Karena demokrasi menurut Mohammad Hatta adalah demokrasi yang berpihak terhadap kepentingan rakyat bawah (proletar) dan bukan terhadap penguasa (borjuis).

Perdebatan tentang demokrasi versi Mohammad Hatta dan Soekarno sejak massa pergerakan berlangsung sangat alot. Pada masa kemerdekaan Indonesia polemik itu kembali terjadi. Seperti yang kita ketahui pada saat itu Soekarno sangat menginginkan sistim demokrasi yang berlangsung di Indonesia adalah sistim presidensial.Sementara Mohammad Hatta menawarkan sistim domokrasi Indonesia adalah sistim parlementer sebagai bentuk demokrasi yang sesuai untuk Indonesia yang sangat heterogen. 

Lebih luas lagi, Soekarno menganggap bahwa persatuan adalah sebuah tujuan dan cita-cita negara sementara Mohammad Hatta menganggap bahwa persatuan merupakan alat untuk mencapai tujuan negara. Soekarno anti demokrasi parlementer sementara Mohammad Hatta menghendaki demokrasi parlementer. Soekarno menganggap suara (voting) merupakan tirani mayoritas, sementara Hatta menganggap voting sebagai tujuan untuk mencapai mufakat. Namun di luar semua pemikirannya, Mohammad Hatta merupakan salah satu penggagas demokrasi di Indonesia yang paling konsisten dengan gagasan dan pemikirannya. Konsistensi Hatta itu terbukti ketika ia harus mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden demi menghindari logika demokrasi terpimpin yang dipaksakan untuk diberlakukan oleh Presiden Soekarno. Pada saat itulah Hatta menurunkan tulisan “Demokrasi Kita” sebuah tulisan tentang demokrasi yang cukup representatif bagi perjalan sejarah politik Indonesia. 

Pergeseran paradigma demokrasi 
Terlepas dari perdebatan kedua tokoh tersebut tentang demokrasi, sekarang paradigma domokrasi telah bergeser sangat jauh dari yang dicita-citakan. Kita bisa mengatakan bahwa demokrasi yang mana kekuasaan ada di tangan rakyat telah dimanipulasi dan dikendalikan oleh orang-orang tua (gerontokrasi). Lihat saja banyak pemimpin lembaga-lembaga negara, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif di dominasi oleh orang-orang tua, termasuk juga partai politik banyak didominasi oleh orang-orang tua, kalaupun ada yang muda itu sebuah pengecualian saja.

Padahal kalau kita kilas balik kebelakang bahwa republik ini dibangun atas inisiatif orang-orang muda yang mempunyai pemikiran dan gagasan yang sangat briilian tentang pemahaman kebangsaan dan keIndonesiaan. Ini artinya bahwa spirit orang muda sangat menentukan maju dan mundurnya sebuah bangsa, tetapi pada realitanya sekarang ini tampilnya orang muda dalam transisi demokrasi sekarang dipanggung politik tidak diberi ruang sama sekali, mungkin dianggap belum berpengalaman dalam mengelolah kekuasaan, masih miskin gagasan. Akses orang-orang muda pada kekuasaan dan kesejahteraan dibatasi dan bahkan ditutup. 

Gerontokrasi adalah sebuah fenomena sosial. Ia terbangun ketika pengendalian oleh orang-orang berumur bekerja dalam sebuah struktur yang menghadapkannya dengan orang-orang muda yang dikendalikan. Maka dalam gerontokrasi, orang tua adalah subjek sementara orang muda adalah objek. Yang pertama adalah penikmat sementara yang terakhir adalah korban. Bahkan organisasi ”kepemudan” di Indonesia kerapkali tak bisa lepas dari gerontokrasi. Alih-alih memberi kesempatan kepada kalangan yang lebih muda dan segar, banyak organisasi kepemudaan yang membiarkan dirinya dikendalikan oleh pemuda dengan usia berkepala lima. Kesempatan kepemimpinan lebih dibuka bagi pemuda-senja bukan pemuda-pagi-hari. Gerontokrasi juga kita temukan dalam institusi-institusi keagamaan. Vatikan, misalnya, terkenal sebagai sebuah kepemimpinan kolektif para kardinal yang sudah berumur. Umumnya pesantren di Indonesia adalah model terbaik gerontokrasi karena model kendalinya terpusat pada tangan kyai-kyai yang sepuh.

Melawan gerontokrasi
Dalam konteks Indonesia agenda yang belum terselesaikan adalah perlawanan terhadap Gerontokrasi yang menjamur di setiap lembaga negara. Sumbu kekuasaan negara masih saja tersentralistik terhadap gerontokrasi yang ada. Salah satu contoh adalah dalam kontestasi pemilihan kepemimpinan di Indonesia bahwa gerontokrasi memainkan peranan yang penting dalam merebut sistim kekuasaan karena dianggap paham dan berpengalaman dalam mengelolah sumbu kekuasaan yang ada, sedangkan orang muda hanya dianggap sebagai objek dari sebuah sistim gerontokrasi sehingga fungsi dan peranan kaula muda mandek dalam sistim gerontokrasi. Kita lihat sekarang pada umumnya partai-partai politik yang ada di Indonesia selalu dikendalikan oleh politisi-politisi tua. 

Dengan adanya gerontokrasi di partai politik inilah embrio yang melahirkan oligarki kepartaian, yakni sistim kekuasaan partai dihasilkan oleh segelintir kecil elit partai yang ada. Tidak hanya di ranah politik tetapi gerontokrasi mewabah juga hingga sampai sistim ekonomi dan budaya. Kalau sistim gerontokrasi tetap saja dipertahankan dalam sistim demokrasi yang penuh dengan toleransi di khawatirkan ini akan menghambat kreativitas orang-orang muda untuk tampil dalam konstelasi pemilihan kepemimpinan. 

Pasca reformasi bahwa banyak politisi muda yang tampil dalam kacah perpolitikan di Indonesia namun tetap saja sentral politik paling strategis selalu saja dikendalikan sepenuhnya oleh sistim gerontokrasi. Celakanya generasi politisi muda tersebut banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran dan pola pikir perilaku politisi tua dan bukan dari pemikiran brilian generasi muda tersebut. Ini sangat berbeda ketika jama kemerdekaan dimana politisi muda memainkan peranan yang penting dalam merumuskan dan memformulasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan berdebat panjang dalam tataran ideologi untuk merumuskan sistim negara yang sesuai dengan falsafah pancasila.

Substansi demokrasi
Itulah sebabnya mengapa di Indonesia nilai-nilai demokrasi yang digagas oleh pendiri bangsa seolah-olah lenyap begitu saja. Apakah memang nilai demokrasi tersebut sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan masyarakat Indonesia? Atau memang Indonesia sudah menganut sistim demokrasi liberal dan kapitalistik ala Amerika yang menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan tertentu. Tetapi menurut hemat penulis bahwa demokrasi di Indonesia akan hidup dan subur seandainya saja kita semua paham tentang nilai-nilai demokrasi yang terkandung didalamnya. Salah satu bentuk nilai demokrasi adalah bahwa rakyat bertanggungjawab tentang caranya dalam menentukan hidupnya masing-masing. Kalau rakyat tidak mempunyai kesadara politik dipastikan rasa tanggungjawab sangat kurang padanya.

Kedaulatan yang berarti pemerintahan rakyat menghendaki rakyat yang mempunyai kesadaran dalam politik. Hanya dengan keinsyafan politik dapat timbul rasa tanggungjawab yang menjadi tiang dari pemerintahan rakyat. Oleh karena itu partai-partai politik diharapkan mampu untuk membuat pendidikan politik bagi rakyat. Makna kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rakyat yang dilakukan oleh para pemimpin yang dapat dipercaya oleh rakyat. Dengan sendirinya pemimpinan pemerintahan dari pusat hingga daerah jatuh ditangan pemimpin-pemimpin rakyat.

Dengan demikian, secara otomatis hilangnya pertentangan antara rakyat dan pemerintah yang sekarang banyak terjadi dibeberapa tempat gesekan antara rakyat dan pemerintah. Kedaulatan rakyat membawa tanggungjawab kepada segala golongan yang berkepentingan dalam hal menentukan nasibnya sendiri. Golongan yang memutus tentang dasar-dasar politik pemerintahan, terutama Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tanggungjawab tentang caranya menentukan politik negara. Ia dipilih oleh rakyat untuk beberapa waktu lainnya. Kalau sikapnya sebagai wakil perpanjangan dari rakyat tidak memenuhi nurani rakyat maka pada pemilihan berikutnya dia mungkin tidak akan dipilih lagi.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar