Sabtu, 02 Mei 2015

Para Pialang Pemakan Bangkai Buruh

 Kolaburasi kroni para pemeras keringat buruh

KM. Walet Selatan.
Buruh itu milik pengusaha, dan pengusaha dalam hukum kapitalis selalu membenci biaya buruh. Di lain pihak, parpol butuh suara dan duit. Lumbung suara datangnya dari buruh dan duit datangnya dari pengusaha. Inilah premis kenapa buruh selalu menjadi komoditas yang diperdagangkan.

Saban tahun nasib buruh di Indonesia bukan malah membaik. Tak terkecuali pada rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo. Berbagai aksi demonstrasi kaum buruh yang masih meledak secara sporadis beberapa bulan terakhir adalah etalase itu. Dalam aksinya, mereka sering menuntut perbaikan kesejahteraan melalui kenaikan upah.

Upah Minimum Buruh (UMB) di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir memang naik. Di DKI Jakarta misalnya, pada November 2014 naik dari Rp 2,47 juta menjadi Rp 2,7 juta. Tapi kenaikan sekitar Rp 360 ribu itu tak sebanding dengan beban yang mereka tanggung akibat kenaikan harga BBM dimana harga berbagai kebutuhan pokok juga ikut terkerek.


Dalam menetapkan UMB 2015, Pemprov DKI Jakarta lebih suka mengikuti rekomendasi kaum pengusaha sebesar Rp 2,6 juta daripada opsi yang ditawarkan kaum buruh sebesar Rp 3,5 juta. Jumlah upah yang ditetapkan berbagai Pemda melalui survei kebutuhan hidup layak (KHL) sesuai kondisi daerah masing-masing selalu menjadi tameng kaum birokrat atas kebijakan UMB.

Kondisi lambatnya kesejahteraan berpihak kepada kaum buruh di Indonesia bisa digambarkan dalam pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”. Kaum buruh, terutama buruh pabrik, memiliki wawasan, ilmu pengetahuan dan skill yang rendah. Sudah cetek, dijajah pula oleh kaum pengusaha dan kroninya.

Titik awal penjajahan itu berangkat dari hukum kapitalis di dunia ini yang selalu membenci upah buruh sebagai komponen produksi terbesar yang harus mereka keluarkan. Di Indonesia, biaya produksi makin membengkak karena kebanyakan kaum pengusahanya kongkalingkong dengan politisi untuk mengawal kepentingan bisnis melalui kebijakan negara, sekaligus memperbesar pemasukan korporasi. Komponen biaya yang mesti dikeluarkan belum terhitung dari biaya suap kepada pelaksana kebijakan dan otoritas keamanan.

Maka dalam produksinya, korporasi melayani empat pihak sekaligus dalam satu waktu. Yaitu buruh, parpol melalui politisi, otoritas keamanan dan biokrat di pemerintahan. Jalan tol untuk menekan komponen biaya tersebut, terpaksa kaum buruh sebagai pihak yang paling lemah dibanding tiga pihak lainnya itu harus dikorbankan. Kalau tidak ditekan, keuntungan tipis dan produknya sulit bersaing di pasar.

Berbagai macam cara yang bisa ditempuh untuk menekannya. Selain menekan upah, juga melestarikan konsep karyawan tidak tetap atau outsourcing, sehingga sewaktu-waktu mereka bisa ditendang keluar kalau dirasa membebani kaum pengusaha. Dibuatkan pula berbagai aturan main yang menekan posisi tawar buruh selemah mungkin sejak awal diterima bekerja.

Hampir semua organisasi pelindung buruh tidak maksimal melindungi hak-hak kelas pekerja amatiran tersebut. Jangankan serikat pekerja di tiap perusahaan dan berbagai organisasi sipil buruh, kaum politisi di parpol pun tak berkutik. Padahal, hampir semua parpol di Indonesia punya sayap organisasi buruhnya.

Di Golkar ada Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI). Di Gerindra ada Sentral Gerakan Buruh Indonesia Raya (SEGARA). Di PAN punya Petani Buruh Reformasi. Di Hanura ada Kesatuan Buruh Hanura (KBH). Di PKS ada Serikat Pekerja Keadilan dan Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia. Di Demokrat punya Bakti Karya Perjuangan Demokrat (BKPD). Di PPP ada Persatuan Organisasi Buruh Islam se-Indonesia (PORBISI).

Tak terkecuali di NasDem sebagai partai baru, organisasi sayap buruhnya bernama “Gemuruh”, akronim dari Gerakan Massa Buruh. Parpol pengklaim berbasis massa kelas bawah seperti PKB juga tak berdaya. Terlebih lagi PDI Perjuangan yang identik dengan wong cilik dan ada Repdem sebagai sayap organisasi buruhnya. Jadi, di tubuh parpol sendiri tak kurang sayap organisasi yang memperjuang hak-hak buruh. Organisasi sayap buruh di parpol pun belum dihitung dari lembaga otonom advokasi hukumnya.

Ketidakberdayaan parpol melindungi hak-hak buruh sudah seperti “lingkaran setan” sebagai akumulasi akibat oligarki politik. Lingkaran pertama yang dicari parpol dari buruh adalah raupan suara dalam berbagai Pemilu. Ini berangkat dari ideologi kunci demokrasi bahwa suara adalah “tuhan” segalanya bagi parpol. Dalam pemilu, buruh cepat tanggap dengan iming-iming dan insentif. Berbagai macam program parpol memperjuang hak-hak buruh, baik berupa kebijakan menaikkan kesejahteraan buruh maupun berbentuk UKM dan Koperasi. Tapi begitu pemilu kelar, good bye buruh!

Lihat saja, dalam Gerakan Buruh Indonesia sekarang, mana ada UKM dan Koperasi yang dikelola secara mandiri oleh anggota buruh punya reputasi sebagai tambang kesejahteraan buruh di luar upahnya. Dalam bentuk kebijakan , kasusnya mirip-mirip seperti UMB DKI Jakarta tadi. Dalam kasus buruh migran di luar negeri pun negara masih tak berdaya melindunginya.

Lingkaran selanjutnya, kaum buruh dijadikan parpol sebagai alat tawar-menawar dalam roda kekuasaan. Aktor politik membutuhkan kaum buruh karena fenomena buruh sebagai massa paling militan setelah massa agama. Dalam operasi politik, militansi buruh dibakar oleh rasa frustasi akibat minimnya upah bisa dimutasikan untuk mencapai kepentingan apa saja. Tidak terbatas kepentingan memperbesar pengaruh politik dan bisnis, tapi juga kepentingan keamanan sesuai ekskalasi yang ditargetkan, bahkan menggulingkan rezim kekuasaan.

Ada beberapa teknik yang digunakan parpol untuk menghimpun kekuatan buruh. Marbawi A. Katon, ahli forensik politik, menyebutnya sebagai teknik “membuat anak kandung” dan teknik “mengangkat anak”.

Pada teknik “anak kandung”, parpol membuat organisasi sayap buruh dimana mereka merekrut buruh-buruh yang belum eksis di organisasi perburuhan atau buruh apatis. Pada teknik “mengangkat anak”, parpol “merampok” organisasi buruh yang ada untuk dijadikan sayap partai. Kalau tidak bisa diminta baik-baik, terpaksa dirampas. Kalau tidak bisa dirampas, organisasi buruh dipecah untuk diambil sebagian yang tunduk saja.

Pada situasi demikian itulah aneka kebijakan ekonomi-politik dan politik-ekonomi perburuhan, kaum buruh bukan lagi sebagai pihak yang menegosiasi kepentingannya kepada pemerintah dan para majikan di perusahaan, tapi sudah diambil-alih oleh elit parpol sebagai negosiator-nya. Elit parpol dan elit birokrat di pemerintahan, jelas tidak menghendaki upah buruh naik. Ini kiat menggoda masuknya investor asing ke daerah-daerah.

Dalam mengeksploitasi kaum buruh untuk tujuan politik sekaligus bisnis hasil “perkawinan” politisi dan korporasi, sumber daya civil society elemen buruh tampaknya dihabisi sampai kering kerontang. Hari ini indikator itu bisa dilihat secara telanjang dari minimnya tokoh civil society yang berintegritas dan independen; tunduknya elit buruh atau pimpinan organ buruh kepada elit parpol sebagai majikannya; serta tak adanya sumbangan massal dari anggota sebuah organisasi sosial untuk melaksanakan kegiatan swadaya dan swakarsa.

Semua kegiatan nyaris mengandalkan sponsor sebagai pihak ketiga. Baik atas desakan elit parpol kepada pemerintah yang sama-sama menguntungkan menaikan citra kedua belah pihak maupun sebagai kompensasi yang diberikan majikan buruh kepada elit parpol hasil transaksi politik-bisnis. Terlebih lagi mendekati pemilu, militansi buruh akan semakin dinaikkan ekskalasinya oleh elit parpol agar peta suara elektoral lebih mudah diketahui sejak dini.

Dalam kungkungan oligarki elit politik dan matinya kemandirian buruh itulah kaum buruh akhirnya menjadi masyarakat politik. Mereka dikuasai oleh elit parpol dan dilibatkan dalam berbagai aksi dan taktik politik untuk mencapai tujuan yang memperbesar kepentingan ekonomi dan politik.

Pihak yang paling menikmati dari semua kondisi tersebut adalah para pialang politik organisasi buruh tersebut. Mereka terdiri dari pihak elit politik yang merebut kepemimpinan organ buruh; elit buruh atau pimpinan organ buruh yang menjilat kepentingan politik-bisnis elit parpol dan korporasi; para majikan korporasi yang menekan upah buruh sambil jalan kongkalingkong dengan elit parpol dan elit buruh; serta kaum biokrat yang melayani elit parpol dan pengusaha.

Marbawi A. Katon, yang juga Direktur Eksekutif Institute for Strategic and Public Policy Research (Inspire), mengistilahkan pialang politik organ buruh tersebut sebagai pihak “pemakan bangkai”. Di depan publik, mereka membela hak-hak buruh, janji-janji selangit untuk menaikkan kesejahteraannya. Tapi di balik semua itu, mereka memangsa kaum lemah tersebut dengan mengkapitalisasi kelemahan yang ada. Mereka berpesta pora di atas penderitaan kaum buruh***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar