Sabtu, 02 Mei 2015

Buruh Sejahtera, Negara Maju


Aksi Buruh gaya Korea dan Jepang
KM.Walet Selatan
 'Working class hero is something to be', inilah salah satu judul lagi mendiang John Lennon, yang mengingatkan kaum pekerja agar terus berjuang melawan berbagai pelecehan.

Bila kaum pekerja atau buruh terus berjuang memperbaiki nasib, memang harus dilakukan. Soal adanya peringatan dari para pengusaha bahwa akan terjadi pelarian modal bila kaum buruh terus menuntut kenaikan upah, itu juga wajar. Maklum, dimana-mana hubungan buruh dengan pengusaha yang memang seperti itu.

Di satu pihak, buruh berkewajiban untuk memperoleh imbalan sebesar-besarnya dari pengusaha. Di lain pihak, para pengusaha harus menekan semua jenis biaya, termasuk buruh, agar bisnisnya makin kinclong. Sedangkan tugas pemerintah idealnya adalah menjadi wasit.


Dari sisi kesejahteraan, sekarang ini gerakan buruh jelas masih sangat diperlukan. Lihat saja, meski ada yang sudah cukup sejahtera, kehidupan kaum buruh pada umumnya masih sangat kental dengan kemiskinan. Apalagi anggapan di kalangan pengusaha bahwa buruh adalah sekadar alat produksi juga masih sangat kuat sampai sekarang. Kecurigaan bahwa gerakan buruh identik dengan komunisme juga belum sepenuhnya hilang.

Gerakan buruh di negara-negara sedang berkembang memang masih jauh dari usai. Ini berbeda dengan Jepang, dimana anggota organisasi-organisasi buruh merosot secara konsisten. Padahal, di era 1970-an, para buruh Jepang tergolong paling agresif dalam memperjuangkan perbaikan nasib.

Kini hanya sekitar 17% buruh Jepang yang menjadi anggota serikat, dibandingkan sekitar 60% seusai perang dunia kedua. Dalam beberapa tahun belakangan, aksi-aksi mereka juga turun tajam menjadi sekitar 60 pemogokan dari 6000-an pemogokan per tahun di era 1970-an. Semua ini terjadi karena kebanyakan buruh di Jepang tak lagi merasa sebagai kuli atau sekadar alat produksi, tapi sebagai partner perusahaan.

Bagi para buruh di Jepang perjuangan kelas sosial memang sudah bukan masalah penting lagi. Ini karena 95% orang Jepang, termasuk para buruh, merasa berada dalam satu kelas, yaitu kelas menengah. Kenyataan ini mematahkan pendapat bahwa perekonomian sebuah negara akan makin kedodoran bila tuntutan para buruhnya makin tinggi.

Hal yang sama juga terjadi di Korea Selatan. Di era 1980-an, para buruh dikenal sangat militan. Ratusan aktifis buruh tewas di jalanan dihantam peluru tentara atau polisi, dan masuk penjara. Aksi terbesar terjadi pada 1987, dimana 1.060 organisasi buruh melakukan 3.458 aksi pemogokan hanya dalam periode Juli sampai September.

Tapi kini, sama dengan Jepang, para buruh Korea Selatan terkenal sangat cerdas dan berproduktifitas tinggi. Sementara itu, industrialisasi negara ginseng ini juga kian maju. Sekarang Korea Selatan bahkan sudah menjadi salah negara paling maju di dunia.

Semua itu menunjukkan, anggapan bahwa bila tuntutan buruh makin tinggi, makin suram pula wajah perindustrian nasional, tidak benar. Sebaliknya, peningkatan kesejahteraan membuat para buruh makin giat bekerja dan cerdas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar