Selasa, 10 Februari 2015

Ibadah x Pahala = Surga Bentuk Kerancuan Nalar Beribadah


                                   
BY. KISMAN 2000

 KM. Walet Selatan

Jika relasi tuhan dengan mahluk atau sebaliknya lebih khusus manusia dimaknai dalam hubungan ibadah sebagai bentuk realisasi komitmen kontrak primordial pada zaman azali di dalam rahim dengan kondisi tanpa Hijjab/pembatas (dinding) antara Allah dengan Hamba melalui MoU MEMORANDUM OF UNDERSTANDING” yang dielaborasikan dalam bentuk pernyataan didalam (bil ayat ) (………….Alastu bi Rabbikum Qaalu Balaa Sahidna) “Apakah aku ini tuhan mu…..,? Ya..! aku bersaksi “ dimana dialog ini sebagai bentuk pernyataan DEKLARASI ABADI telah ditetapkan atas pengakuan antara Abid dengan ma’bud (menyembah dan disembah) oleh karena demikian bahwa implementasi ibadah merupakan bentuk sikap dan tindakan PENGABDIAN ( tanpa pamrih ) diaktualisasikan dalam Niat, Sikap dan Tindakan yang dinafasi rasa keikhlasan secara paripurna (kaffah) dengan yakin tanpa ragu serta tanpa bermaksud mensyarikatkan Allah dengan yang lainnya dalam beribadah kepadanya.


Kerangka makna Ibadah dalam tulisan ini secara jamak yakni segala bentuk Niat, Sikap dan Tindakan yang baik dilakukan dalam 3 (tiga) Dimensi Relasi  yakni (Hablum Minallah, Hablum Minannas dan Hablum Minal Alam) hubungan manusia dengan Allah, Manusia terhadap manusia dan manusia terhadap alam dengan tulus dan ikhlas, maka ibadah adalah refleksi pengabdian diri atas orientasi hidup untuk melaksanakan kebaikan dan meninggalkan larangan yang dilandasi keikhlasan semata tanpa mensyarikatkan Allah dengan yang lainnya.

EKSISTENSI MANUSIA hidup pada hakekatnya untuk mendapat PENGAKUAN, Karena orientasi manusia hidup itu bagaimana mendapatkan predikat MANUSIA UTAMA di dunia yakni manusia dalam hidupnya dinilai atas KE-MANFAAT-AN, dapat bermanfaat untuk dirinya, untuk orang lain dan alam sekitarnya serta Predikat HAMBA TAQWA di akhirat yaitu manusia yang ( Taqarub, Qina’ah dan Wara’ ) menjalankan atas perintah dan meninggalkan/menjauhi segala larangan dalam kerangka ibadah kepada-Nya.

Berorientasi hidup menjadikan diri kita yang utama/terbaik di dunia adalah mutlak, walau disadari hal itu tidak semudah kita harapkan, karena butuh proses dan menjadi ukuran kemampuan kita dalam Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan dengan rumus (MHM2D), maka untuk ukuran  mengetahui baik/utama yaitu bilamana bermakna dan dapat dirasakan manfaatnya oleh diri sendiri dan manusia lain yang pada gilirannya hal tersebut dinilai atas penilaian manusia terhadap manusia lain dalam kehidupan Sosial, jika dia ada maka akan selalu dibutuhkan dan jika tiada orang lain akan merasa kehilangan. Hal ini didasari atas pengakuan pada diri Rasulullah Muhammad Saw sebagai suri tauladan yang baik ( Uswatun Hasanah ) karena Rasulullah adalah sebagai bentuk representasi manusia pilihan/utama, sungguh kehadirannya sebagai Rahmatan lil Alamin bukan saja untuk umat Islam,  maka tidak menjadi tidak mustahil kita tak bermaksud mengambil keteladanan Rasulullah sebagai motivasi diri menjadi yang utama.


    BILA IBADAH TANPA PAHALA MASIHKAH MANUSIA MAU BERIBADAH KEPADA ALLAH…?

Logika beribadah dengan landasan Penghargaan/Hadiah dan hukuman “REWARD AND PHUNISMEN” dalam bentuk pahala yang berorientasi Surga dan dosa yang orientasinya Neraka  adalah symbol ibadah yang dimotivasi pamrih, akan menjadi lain ketika kita memaknai bahwa setiap amal ibadah dengan mengharap pahala, apalagi yang diorientasikan dengan hal yang lebih jauh seperti akan mendapat ganjaran  SURGA sebagai hadiah atas amalan baiknya manusia. Konstruksi berpikir orientet dalam menjalankan ibadah dengan meletakkan niat untuk mendapat imbalan pahala dan ganjaran Surga adalah bentuk ” KERANCUAN NALAR DALAM BERIBADAH “, maka tidaklah menjadi heran manusia khususnya umat islam telah terbentuk dalam dogma tendensius akibat dari dangkalnya pemahaman terhadap Agama serta pencapaian tujuan beragama. Berhubungan dengan tuhan saja memiliki tendensi apalagi dengan sesama manusia dan makhluk lainya, betapa hal tersebut menunjukkan bahwa ajaran islam “ berhitung secara ekonomistic “ yakni tentang untung dan rugi dalam beribadah yang seolah sama dengan managemen dagang ( niaga ). Karena konstruksi berfikirnya cukup sederhana, jika aku dengan melakukan apa untuk mendapat apa serta ukurannya berapa, maka tanpa sak lagi hal tersebut sungguh menjadi motif ibadah yang rapuh dan sumir, sebaliknya jika tak mendapatkan apa-apa menjadi mustahil untuk dilaksanakan.

Beribadah kepada Allah merupakan bentuk perwujudan dalam manivestasi niat, sikap dan tindakan/perbuatan diri sebagai hamba dalam  PENGABDIAN atas ridho Allah untuk merealisasikan eksistensi pengakuan ke-hamba-an terhadap-Nya. ( Syech Radiyatul Adawiyah ) seorang sufi terkemuka berdo’a dalam setiap ibadahnya kepada Allah dengan maksud malakukan penegasan atas ke-hamba-annya “ Ya…Allah, jika dalam ibadahku dengan berharap pahala untuk memperoleh Surgamu maka masukanlah aku ke dalam Nerakamu”, ini dimaksudkan dimana manusia diajarkan untuk dapat menyadari kapasitas sebagai hamba “ Aabidu “ dengan diberi hak otonom untuk mengatur diri dalam setiap perbuatan ibadah kepada Allah semata. (Bil ayat ) “….Jin wal insan ila liya’buduun “  manusia dan jin diciptakan hanya untuk menyembah (beribadah) kepada Allah . Yakni beribadah dengan menyerahkan diri secara kaffah dalam setiap ibadah tanpa ragu dan hanya kepada-Nya tempat “ Maujudnya “ sesuatu dan tak perlu mensyarikatkan-Nya pada sesuatu apapun juga.

Dengan memahami kapasitas diri manusia, maka akan ada pesan untuk bersikap dan bertindak seadanya dan ideal. Allah bukan tanpa kuasa mengurus segalanya menciptakan malaikat dengan mendelegasikan sebagian kewenanganya sehingga diberi masing-masing peran/tugas menyelenggarakan untuk urusan manusia dan mendampingi manusia, setelah manusia mengakui dirinya sebagai Hamba Allah dengan tugas mengabdi kepada- Nya. Maka manusia dalam beribadah tak patut berharap apalagi mematok pamrih pahala dan kemudian menghayal surga menjadi bahagiannya, karena atas kemampuannya menusia tidak kurang mereka berhitung setiap amalan yang dilaksanakannya, dengan demikian bila kecenderungan berfikir pada pendekatan rumus berhitung BERIBADAH X PAHALA = SURGA ≤ (EKWIVALEN) DENGAN KERANCUAN NALAR BERIBADAH sehingga NILAI IBADAH AKAN MENJADI SUMIR, dapat dirasakan suatu kepatutan dirinya mendapat imbalan pahala dan hadiah surga baginya. Maka dengan demikian tidak sedikit kecenderungan yang terjadi, lantaran rutin/intens berada di masjid merasa menjadi AHLI IBADAH  dan seolah-olah berhak meng-klaim Surga tempatnya, lantaran berdasarkan hitungan dan nilai intensitas kegiatannya dalam beribadah, belum lagi keberadaan dirinya di-simbol-kan dalam tampilan berjenggot lebat, bersorban panjang dan berjidad hitam, lupa kalau itu bukan ukurannya dan jika hal tersebut ada maka benar kita mengenal islam symbolik dan ibadah simbolitas.

Mental beribadah yang didasari orientet dalam pengharapan, apalagi atas kemampuan perhitungan manusia mematok keuntungan yang diperoleh dari sejumlah investasi ibadahnya bernilai surga, maka akan sama dengan sikap mendaulati/ meng-acak-acak kewenangan Allah dan dengan demikian manusia bermaksud untuk pengabaian kewajiban malaikat yang diberi tugas untuk mencatat/menilai amalan manusia dan hak Allah untuk mengadili dalam rangka menetapkan keputusannya. (Bil ayat ) ”…….. Alaisallahu bi ahkamil hakimiin “ Sungguh Allah adalah hakim yang seadil-adilnya.( Wallahu a’lam). @Q2000


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar