Jumat, 13 Februari 2015

Bila Ibadah Tanpa Pahala Masikah Manusia mau Beribadah Kepada Allah…?



 BY KISMAN 2000
 KM. Walet Selatan
Logika beribadah dengan landasan Penghargaan/Hadiah dan hukuman “REWARD AND PHUNISMEN” dalam bentuk pahala yang berorientasi Surga dan dosa yang orientasinya Neraka  adalah symbol ibadah yang dimotivasi pamrih, akan menjadi lain ketika kita memaknai bahwa setiap amal ibadah dengan mengharap pahala, apalagi yang diorientasikan dengan hal yang lebih jauh seperti akan mendapat ganjaran  SURGA sebagai hadiah atas amalan baiknya manusia. Konstruksi berpikir orientet dalam menjalankan ibadah dengan meletakkan niat untuk mendapat imbalan pahala dan ganjaran Surga adalah bentuk ” KERANCUAN NALAR DALAM BERIBADAH “, maka tidaklah menjadi heran manusia khususnya umat islam telah terbentuk dalam dogma tendensius akibat dari dangkalnya pemahaman terhadap Agama serta pencapaian tujuan beragama. Berhubungan dengan tuhan saja memiliki tendensi apalagi dengan sesama manusia dan makhluk lainya, betapa hal tersebut menunjukkan bahwa ajaran islam “ berhitung secara ekonomistic “ yakni tentang untung dan rugi dalam beribadah yang seolah sama dengan managemen dagang ( niaga ). Karena konstruksi berfikirnya cukup sederhana, jika aku dengan melakukan apa untuk mendapat apa serta ukurannya berapa, maka tanpa sak lagi hal tersebut sungguh menjadi motif ibadah yang rapuh dan sumir, sebaliknya jika tak mendapatkan apa-apa menjadi mustahil untuk dilaksanakan.

Beribadah kepada Allah merupakan bentuk perwujudan dalam manivestasi niat, sikap dan tindakan/perbuatan diri sebagai hamba dalam  PENGABDIAN atas ridho Allah untuk merealisasikan eksistensi pengakuan ke-hamba-an terhadap-Nya. ( Syech Radiyatul Adawiyah ) seorang sufi terkemuka berdo’a dalam setiap ibadahnya kepada Allah dengan maksud malakukan penegasan atas ke-hamba-annya “ Ya…Allah, jika dalam ibadahku dengan berharap pahala untuk memperoleh Surgamu maka masukanlah aku ke dalam Nerakamu”, ini dimaksudkan dimana manusia diajarkan untuk dapat menyadari kapasitas sebagai hamba “ Aabidu “ dengan diberi hak otonom untuk mengatur diri dalam setiap perbuatan ibadah kepada Allah semata. (Bil ayat ) “….Jin wal insan ila liya’buduun “  manusia dan jin diciptakan hanya untuk menyembah (beribadah) kepada Allah . Yakni beribadah dengan menyerahkan diri secara kaffah dalam setiap ibadah tanpa ragu dan hanya kepada-Nya tempat “ Maujudnya “ sesuatu dan tak perlu mensyarikatkan-Nya pada sesuatu apapun juga.

Dengan memahami kapasitas diri manusia, maka akan ada pesan untuk bersikap dan bertindak seadanya dan ideal. Allah bukan tanpa kuasa mengurus segalanya menciptakan malaikat dengan mendelegasikan sebagian kewenanganya sehingga diberi masing-masing peran/tugas menyelenggarakan untuk urusan manusia dan mendampingi manusia, setelah manusia mengakui dirinya sebagai Hamba Allah dengan tugas mengabdi kepada- Nya. Maka manusia dalam beribadah tak patut berharap apalagi mematok pamrih pahala dan kemudian menghayal surga menjadi bahagiannya, karena atas kemampuannya menusia tidak kurang mereka berhitung setiap amalan yang dilaksanakannya, dengan demikian bila kecenderungan berfikir pada pendekatan rumus berhitung BERIBADAH X PAHALA = SURGA ≤ (EKWIVALEN) DENGAN KERANCUAN NALAR BERIBADAH sehingga NILAI IBADAH AKAN MENJADI SUMIR, dapat dirasakan suatu kepatutan dirinya mendapat imbalan pahala dan hadiah surga baginya. Maka dengan demikian tidak sedikit kecenderungan yang terjadi, lantaran rutin/intens berada di masjid merasa menjadi AHLI IBADAH  dan seolah-olah berhak meng-klaim Surga tempatnya, lantaran berdasarkan hitungan dan nilai intensitas kegiatannya dalam beribadah, belum lagi keberadaan dirinya di-simbol-kan dalam tampilan berjenggot lebat, bersorban panjang dan berjidad hitam, lupa kalau itu bukan ukurannya dan jika hal tersebut ada maka benar kita mengenal islam symbolik dan ibadah simbolitas.

Mental beribadah yang didasari orientet dalam pengharapan, apalagi atas kemampuan perhitungan manusia mematok keuntungan yang diperoleh dari sejumlah investasi ibadahnya bernilai surga, maka akan sama dengan sikap mendaulati/ meng-acak-acak kewenangan Allah dan dengan demikian manusia bermaksud untuk pengabaian kewajiban malaikat yang diberi tugas untuk mencatat/menilai amalan manusia dan hak Allah untuk mengadili dalam rangka menetapkan keputusannya. (Bil ayat ) ”…….. Alaisallahu bi ahkamil hakimiin “ Sungguh Allah adalah hakim yang seadil-adilnya.( Wallahu a’lam). @Q2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar