Senin, 29 Desember 2014

BIMA DALAM DEVIASI SOSIAL


Oleh : Taufiqurrahman,S.Pd
KM. Walet selatan
Sungguh hal sangat ironis jika kita berbicara atau membincang tentang asal usul daerah Bima sekarang yang katanya dahulu di kenal dengan Dana Mbojo asal kata sejarahnya. Bahkan masih banyak lagi kata yang terucap dari para sejarawan Bima, bahwa Bima lahir dari kata-kata simbolik yang mengandung makna baik secara filosofis maupun secara gramatikal.

Hiruk pikuknya kehidupan masyarakat kota Bima maupun Kabupaten Bima tidak lepas dari cengkraman kemajuan ilmu dan tehnologi yang semakin lama semakin berkembang untuk mempermudah kehidupan masyarakat. Sekaligus mengikis tata nilai budaya original sosial kemasyarakatan menuju modernisme yang tak terkendali. Mengingkari modernisasi sama saja melupakan jati diri manusia yang pada hakikatnya sebagai mahluk yang terus dimanis atau bisa di bilang berubah, bukan hanya tiap tahun, bulan, Atau minggu bahkan tiap menit cara pandang serta cara berpikir manusia terus mengalamai kemajuan.

Bima yang dari sejak zaman ncuhi hingga zaman kesultan sekaligus menjadi titik awal lahirnya islam sebagai landasan hidup masyarakat Bima mulai dari keluarga sultan lebih-lebih rakyatnya, dan kadang bima juga di sebut sebagai “serambi mekah” ke dua dari aceh , dimana wajah asli Bima yang alamiah penuh dengan religiulitas kini sangat kontars dan justru jauh dari nilai-nilai islam. Dulu ba’da magrib hingga menjelang tengah malam lantunan Ayat suci Al-qur’an terdengar di setiap rumah-rumah, apalagi di Masjid-masjid tapi sekarang berganti music-musik rock,pop.punk dandut serta macam lagi aliran music lainya. Dan Kefatalan generasi adalah ketika sejarah ditoreh secara tidak gamblang dan disadur dengan tidak apa adanya. Lebih ironi lagi ketika sejarah tersebut diungkap secara tidak transparan dan ditutup-tutupi keberadaannya. tentang Dana Mbojo (Bima) yang berakibat identitas kita tidak pernah jelas terukir seperti apa budaya Bima itu yang sebenarnya.

Melunjaknya arus urbanisasi memiliki makna tersendiri dalam menyumbang pergeseran perilaku manusia sekaligus sebagai perwujudan eksitensi terhadap kelas sosial masyarakat, menjadikan materialisme sebagai hal yang paling subtantif dalam melihat segala aspek hidup hingga wujud teologis pudar seiring  masjid-masjid di isi oleh generasi tua yang tinggal menunggu ajalnya dalam tempo dekat. Bukan suatu tanpa makna melainkan terkandung dan mengisi lorong-lorong waktu kehidupan masyarakat bima.

Kota bima sebagai sentral kemajuan yang dalam setiap sudutnya terdapat tempat-tempat untuk orang  meraih kesenangan demi mengisi ruang hampa dalam jiwa yang kadang redup lantaran kesibukan aktifitas hidup. dan perubahan social masyarakat yang mengarah kepada kebaikan terus berjalan tetapi jangan lupa baik lawanya buruk, jadi orok keburukan sejarah hidup anak manusia tetap hadir sebagai bagian pembanding. Wilayah-wilayah yang berada dalam cakupan kabupaten Bima, jangan di bilang betapa tidak siapnya mengahadapi modernisme, menjadikan reaksi terhadap moderen justru ofer eksen oleh kalangan muda sampai dengan yang kaum tua, contoh filem-filem yang bernuansa romantisme yang berasal dari Indonesia,korea,india bukan lagi kalangan muda yang mengandruginya kebanyakan generasi umur 45-50 tahunlah yang menyukai adegan-adegan artis-artis cantik dan ganteng yang di tayangkan disiaran televisi. Istilah weternisasi merupakan interprestasi utuh modernis. Jika kelakuan masyarakat bima mencerminkan lebih memilih nilai yang hadir dari barat dari pada nilai budaya timur yakni budaya sendiri.
Dr kartono kartini dalam bukunya “Patalogi sosial” mengambarkan bagaimanakah munculnya penyakit social itu , serta apa yang menyebabkanya dan muncul istilah “Deviasi Sosial” (peyimpangan social). Yang di gambarkan oleh penulis di atas merupakan bentuk lain dari budaya masyarakat yang agamais bergeser budaya masyarakat bima yang oportunis, hedonis dan apatis terhadap persoalan sesama. Bukti tidak terbantahkan sekarang dimana-mana pemuda-pemuda kita telah banyak terlibat perkelahian antar kampung hanya persolan sepele., narkoba,pelacuran,obat-obatan,suntik-suntikan,aborsi, pernikahan usia dini dan semua hanya mengejar beberapa istilah kata yakni ”Gaul, keren, hebat, tidak ketinggalan zaman ”banyak lagi istilah lainya.

Harus ada usaha bersama untuk Perubahan sosial masyarakat bima, adalah mimpi yang ingin diwujudkan oleh elemen pemuda , mahasiswa, pengusaha, lebih-lebih pemerintah. Setiap diantara kita sebagai Elemen terlebih lagi institusi resmi  membutuhkan paradigma, analisa, dan konstruksi berpikir sosial ,  maka yang paling penting yang harus di miliki oleh para penggerak perubahan  sosial adalah memikirkan tentang pergeseran makna realitas sosial sehingga harus memiliki spirit untuk perubahan sosial budaya masyarakat Bima. Menurut salah satu tokoh Bima kelahiran Ngali kanda Fajlurrahman Jurdi,   dalam Bukunya ” Oposisi lintas Kelas” Ada beberapa hal dalam melakukan perubahan sosial, yakni lebih dini melihat realitas sosial. Realitas sosial merupakan hal yang pertama sekali dalam perubahan. Karena berangkat dari realitas inilah semua persoalan mampu di petakan atau di Swot . Tanpa melakukan analisa terhadap realitas sosial, kita akan kehilangan identitas sosial, kehilangan arah dan tujuan sekaligus dalam melakukan gerakan perubahan. 
Karena gerakan apapun yang kita bangun dan desain, harus berangkat dari realitas apa yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Paradigma ini menjadi sangat penting untuk dibangun, dimaknai dan diapresiasi demi melihat sebuah perubahan yang responsif dan partisipatif. lalu tindakan sosial. Manusia melakukan aktivitas dan bertindak tentu akan melahirkan perubahan, entah dia sadar atau tidak bahwa tindakan sosial  yang dilakukannya akan melahirkan perubahan. Oleh sebab itulah, bahwa setiap tindakan sosial yang dilakukan oleh manusia tentu membawa perubahan baik itu dalam skala besar maupun kecil. Sehingga setiap perubahan yang terjadi adalah merupakan implikasi dari tindakan sosial yang dilakukan oleh manusia itu sendiri – dan itu kembali memperkuat bahwa realitas sosial manusia adalah bagian  dari perubahan. 
 Sebagai makluk yang berfikir selanjutnya ide baru yang muncul sebagai determinisme dari teori yang ada. Ini merupakan bagian dari landasan perubahan sosial. Ide, merupakan gagasan-gagasan yang mendekonstuksi ide yang telah ada atau sebagai antitesa dari konsep yang telah mapan, sehingga konsep yang ada tadi mengalami perubahan, bukan hanya secara konseptual tetapi juga paradigma konsep itu bergeser. Jadi dalam melakukan perubahan itu perlu ada ide – dimana ide itu lahir sebagai antitesa dari ide yang ada. Tanpa adanya ide gagasan yang muncul tiap diri para intelektual tersadarkan atau intelektual organik dalam istilah Antonio gramsi perubahan struktur budaya sosial merupakan mimpi di siang bolong . 
Proses dependensia, yaitu ketergantungan antara berbagai pihak yang menyebabkan pihak yang tergantung itu harus mengikuti keinginan pihak yang menggantungnya. Artinya saling memiliki antara satu dengan yang lain tanpa menbeda –bedakan clas sosial ataupun kaya dan miskin. kita secara praktis bisa berfikir, karena ketegantungan ini menyebabkan pihak yang tergantung harus ikut pada pola, struktur – minimal meniru – pihak yang menggantungnya terlebih lagi misalnya orang yang membuat ketergantungan itu adalah para Alim Ulama yakinlah jiwa materialis berganti wujud kolektif agamais. Dan yang terakhir agar  mencapai cita-cita jalan yang lurus dan akhirnya menjadi masyarakat bima yang diridhoi Allah SWT, adalah dialektika fakta sosial. Sebagaimana yang penulis ajukan diatas, bahwa dialektika berpotensi melahirkan perubahan sosial. Bahkan melalui dialektika-lah perubahan itu akan besar kemungkinan terjadi. Apa yang terjadi dalam rentang sejarah kemanusiaan, perubahan senantiasa terjadi akibat proses dialektika seperti yang dipahami kaum markisme.
Dialektika berarti komunikasi yang benuh dengan pesan rasional, iman dan takwa berlandaskan dalil nakli ataupun akli pada uijungnya perubahan kehidupan sosial budaya masyarakat bima yang menyimpang pada identitasnya tidak lagi menjadi borok yang terus di perdebatkan tanpa solusi atau jalan keluarnya.perlu kesadaran kolektif kita bersama melihat, mendengar, menganalisis dan menyimpulkan langkah-langkah  kongkrit supaya timbul inisiatif perubahan individu, organisasi maupun institusi negara (Pemkot dan Pemda) tidak hanya di gerakkan oleh segelintir orang, seperti dilukiskan para pepatah ”Ringan sama di jinjing berat sama di pikul”. Memikul bersama beban sosial akan jauh lebih cepat mengalami perubahan deviasi sosial yang sudah tertanam pada sebagian masyarakat Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar