Membaca zaman lampau bermakna belajar tentang substansi dan hikmah atas sebuah realitas yang terjadi, kenapa? Jawabannya: History repeat itself. Sejarah niscaya berulang, hanya aktor dan kemasan kerapkali tidak sama sesuai keadaan.
Dalam memetik hikmah serta substansi, memang tergantung kualitas
kejelian dan kecermatan orang, kelompok, dan bangsa dalam mengurai
‘mengapa terjadi’ --- bukan sekedar melihat ‘apa yang terjadi’ oleh
sebab nantinya dijadikan rujukan melangkah kedepan agar kita, dia, kami,
atau mereka, dll tidak seperti anekdot kerbau terperosok (dalam sehari)
di lobang yang sama.
Nah, catatan sederhana ini ingin mengulas sedikit esensi maupun hikmah
yang mutlak dipetik oleh diri, keluarga, kelompok bahkan bangsa serta
negara atas Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung.
Saya mencoba menerangkan sekilas hikmah KAA, tanpa setitikpun niat
menggurui siapapun terutama para pakar dan pihak-pihak berkompeten.
Artinya jika terdapat pandangan atau pendapat berbeda, anggaplah itu
kewajaran yang perlu analisa, atau didiskusikan secara lebih dalam tanpa
perlu adanya syak wasangka, atau saling mencurigai, dan sebagainya
karena hakikat hal-hal yang saya sampaikan demi kebaikan bersama,
terutama dalam rangka tegak dan bangkitnya kembali nusantara, Indonesia
Jaya.
Tak dapat dipungkiri, bahwa nilai sebuah kejayaan baik negara,
individu, golongan, maupun warga dan bangsa yang hidup di dalamnya
memiliki kriteria, ukuran, ataupun parameter-parameter tersendiri. Tak
bisa tidak. Menjadi kelaziman bila kriteria kejayaan sebuah negara
adalah peradaban, sedangkan parameter kejayaan individu diukur melalui
moral. Meski kini berkembang stigma sosial bahwa ukuran kejayaan
(kesuksesan) individu dilihat dari harta, takhta dan wanita --- itu
syah-syah saja, namun penulis menilai bahwa stigma tersebut selain hanya
‘bunga-bunga dunia’ juga dapat disinyalir sebagai ujud pendangkalan
konsep atas nilai kejayaan semula.
Ada beberapa aspek pendorong (driving force) yang dapat
memunculkan baik peradaban maupun moral itu sendiri selaku ukuran atau
parameter kejayaan negara, individu, kelompok, dan sebagainya bisa
diurai sebagai berikut:
Pertama adalah faktor keyakinan (confidence).
Pertanyaannya sederhana, “Bagaimana negara atau individu akan maju dan
meraih kejayaannya jika dalam keseharian tak punya keyakinan dan rasa
percaya diri?” Entah hal-hal apa saja. Kita hampir tak memiliki
keyakinan terutama jika ditinjau dari elemen dinamis daripada Ketahanan
Nasional yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam) atau pancagatra.
Dalam hal ideologi misalnya, kita terombang-ambing ombak globalisasi
sehingga ‘pasrah’ kemudian mengakomodir bahkan menelan bulat-bulat
demokrasi ala Barat dan nilai-nilai asing yang belum terbukti
keampuhannya pada perjalanan bangsa ini. Inilah ‘jalan pintas’ segenap
anak bangsa yang dikira bisa cepat meraih masa kejayaan namun praktiknya
justru kian menggiring bangsa ini pada keterpurukan, mengapa? Intinya:
“Tidak punya keyakinan terhadap pakem dan pola sendiri guna meraih
kejayaannya”
Nilai-nilai asing semacam liberalisme, HAM, dll akhirnya menjadi
‘senjata sakti’ setiap komunitas guna memaksakan kehendaknya di muka
umum meskipun tata caranya menabrak etika, moral bahkan melanggar
kepentingan bersama. Kebebasan yang bertanggung jawab dalam Demokrasi
Pancasila malah dianggap riak belaka, seakan-akan di atas namun secara
hakiki menjadi mainan arus besar (Demokrasi ala Barat). Kenapa semua itu
terjadi? Lagi-lagi: “Karena kita tidak memiliki keyakinan atau rasa
percaya baik selaku diri dan bangsa!”
Di bidang ekonomi apalagi, sangat-sangat parah. Konstitusi negara pasal
33 UUD 1945 telah tertulis jelas melalui prinsip-prinsip ekonomi
kerakyatan, antara lain:
(1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi,
air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Akan tetapi dalam praktik dari waktu ke waktu, orde demi orde justru
ruh kerakyatan kian menjauh dari substansi ekonomi pasal 33 dimaksud.
Revrisond Baswir, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Kerakyatan UGM (Subversi
Neokolonialisme, 2009) mensinyalir, bahwa perjalanan perekonomian
Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah
proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses
transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok
perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi
neoliberalisme (neolib) dalam beberapa waktu belakangan ini.
Pada satu pihak, kita seperti tidak rela kekayaan bangsa ini dijarah oleh bangsa luar atas nama investasi asing, structural adjusment policy (SAP),
IPO dan lain-lain, karena aset-aset negara lepas satu persatu dan
dikuasai swasta (asing). Namun di pihak lain, berbagai undang-undang
(UU), Keppres, dll yang terbit di era kini malah pro atas mekanisme
neokolonialisme tadi. Sebuah ironi realitas di depan mata. Agaknya
kondisi semacam itu menggerus pula aspek-aspek kehidupan lain sehingga
melemahkan Ketahanan Nasional kita.
Maka titik awal pergerakan dan perjuangan untuk kebangkitan bangsa
seyogyanya adalah: “Hilangkan perasaan minder, hapus rendah diri dan
musnahkan rasa tidak percaya diri baik sebagai individu maupun bangsa!”
Tak bisa tidak. Bahwa rasa minder (inferior) merupakan akar dari segala akar yang menyebabkan bangsa kita terpuruk di mata global.
Ketika tidak memiliki rasa percaya diri maka dengan mudah pihak asing
mengalihkan perhatian, menyesatkan, menjerumuskan, dll sebab bangsa ini
seperti tidak memiliki pijakan akan keyakinan. Kita gamang, minder,
ragu-ragu, dsb. Akibatnya, selama ini para elit dan segenap bangsa cuma
gaduh di tataran hilir dengan aneka wacana serta ‘isue-isue ciptaan’
melalui beragam media, lalu elit dan pengambil kebijakan larut dalam
skema asing, membiarkan, bahkan celakanya ---- tidak sedikit para elit
dan perumus kebijakan justru sadar serta terlibat pada kerancuan
pengelolaan berbangsa dan tata bernegara.
Ditebar isue korupsi misalnya, lalu kita heboh sendiri di dalamnya. Dibentuk KPK-lah, atau didirikan Non Government Organization
(NGO) antirasuah sebagai “kaki”-nya KPK, dibuat UU PPATK, dsb. Inilah
salah satu ujud dari kebijakan negara cq pemerintah namun tidak berbasis
anatomi masalah serta potensi ancaman kedepan. Pertanyaannya, “Siapa
paling diuntungkan atas kerancuan situasi seperti ini, manakala
bapak-bapak khawatir melakukan transaksi dan takut menyimpan uangnya
dalam jumlah besar di dalam negeri sendiri?”
Ya, tentu pihak luar negeri yang diuntungkan. Mungkin bank-bank Swiss,
mungkin bank di Solomon, Fiji, dll dan sangat mungkin ialah Singapura
karena ribuan triliun rupiah milik orang Indonesia terbukti ada
(disimpan) disana. Ini sekedar salah satu contoh nyata.
Saya berasumsi, inilah keadaan rancu hasil cipta kondisi oleh asing
melalui wacana dan isue yang niscaya (tujuannya) akan menelorkan
kebijakan-kebijakan negara cq pemerintah yang salah arah dan hasilnya:
“Tidak jelas,” mengapa? Kebijakan kok malah menguntungkan pihak asing? Jujur harus dijawab, “Dengan terbitnya UU PPATK, negara mana diuntungkan?”
Faktor kedua adalah kebodohan berkala. Tak boleh dielak, faktor ini
menjadi subur di Bumi Pertiwi akibat modus pencitraan yang menjadi pilar
utama model politik pasca reformasi, seperti multi partai misalnya,
atau one man one vote, otonomi daerah, dan lainnya. Petruk
disulap jadi raja, penjahat dirias pun bisa duduk sebagai pejabat.
Akibatnya korupsi marak lalu dipropagandakan (digebyarkan) oleh media
seolah-olah sebagai persoalan utama bangsa ini. Inilah ujud penyesatan,
wong korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem politik pasca
reformasi.
Asumsi Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit,
bahwa model dan sistem politik semacam ini yang berkuasa justru pemilik
modal serta para donator kampanye yang meremot pagelaran politik di
balik layar. Dengan kata lain, bila ‘jago’-nya jadi, mereka akan
menyetir kebijakan! Bagaimana si petruk tidak korupsi?
Sumber lain pembodohan berkala ini ialah modus pencitraan sebagaimana
diulas sekilas di muka. Betapa kebohongan dianggap nilai yang dimaklumi
bersama, sehingga kedustaan menjadi-jadi. Artinya apa, sekali si sosok
berbohong kepada publik maka akan disusul oleh kebohongan-kebohongan
lain untuk menutupinya. Inilah yang kini tengah berlangsung masif di
republik tercinta ini. Sikap plin-plan bahkan munafik justru dipelihara
oleh sistem ---- kegilaan, popularitas murahan menjadi ‘makanan’
sehari-hari di tengah masyarakat. Dan sudah barang tentu, hampir tidak
ada lagi keteladanan para elit dan pimpinan publik untuk rakyatnya.
Secara politik, sumber dari segala sumber kebodohan berkala adalah sistem politik dan ekonomi yang abai terhadap konstitusi dan local wisdom leluhur, kenapa sistemnya malah merujuk model ala Barat, baik one man one vote,
otonomi daerah, dan sebagainya pada ranah politik maupun model ekonomi
neolib dalam praktik ekonomi, dan lain-lain. Sedang secara individu,
kebodohan berkala bermula dari sikap plin-plan atau munafik. Pagi kedelai sore tempe!
Akhirnya dapat diterka, bahwa maraknya fenomena berkala atas pembodohan
di tengah-tengah rakyat, kini terjadi kecenderungan bahwa sistem yang
digunakan cuma menyenangkan segelintir elit serta hanya mengenyangkan
kelompok kecil. Sadarkah kita?
Faktor ketiga adalah bangsa pengekor. Betapa banyak anak bangsa bahkan
intelektualnya merasa malu menjadi warga Indonesia, minder atas
ke-Indonesiannya, entah kenapa sikap ini tumbuh subur. Mereka justru
bangga dengan bangsa lain serta mengunggulkan negara asing yang akar
budaya dan nilainya tak sama, bahkan bertolak belakang. Lagi-lagi,
Revrisond mengendus bahwa telah terlembaganya sistem “cuci otak” yang
bercorak neolib dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua jenjang
pendidikan di Indonesia. Luar biasa.
Mungkin ini adalah akumulasi atas kedua faktor di atas, baik rasa tidak percaya diri sebagai diri dan bangsa maupun sikap plin-plan yang overload,
seakan-akan menjadi epidemi di negeri ini. BK menyebut fenomena ini
dengan istilah “blandis,” salah satu jenis komprador yang sikap dan
perilakunya lebih mempercayai rujukan asing daripada rujukan bangsa
sendiri. Inilah golongan pengekor yang kelak dan pasti akan menerkam
rakyatnya sendiri dengan berbagai alasan dan justifikasi.
Manakala GFI, Jakarta, dalam Jurnal ke 7 mengambil tema: “Revitalisasi
Spirit KAA Bandung,” maknanya tak lain ialah “Cermin Diri.” Artinya,
agar segenap tumpah darah Indonesia harus melakukan intropeksi berjamah,
berkaca secara massal, terutama kaum elit politik dan para perumus
kebijakan negeri ini. Dengan kata lain, betapa bangsa dan segenap
pimpinannya kita tempo doeloe di awal berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mampu menjadi epicentrum dalam
menebar sikap anti-imperialisme dan menggerakkan negara-negara
berkembang lain untuk bangkit melawan kolonialisme serta mencermati
model-model neokolonialisme yang kelak berubah ujud, maka refleksinya
kini: “Bagaimana kiprah para elit dan pengambil kebijakan di era
sekarang?”
Penjajahan dengan segala macam bentuknya adalah biang kemiskinan
siapapun dan sampai kapanpun bagi negara manapun di muka bumi, karena
inti kolonialisme adalah mencaplok ekonomi sebuah bangsa. Ini cuplikan
pidato BK dalam forum KAA di Bandung dulu:
“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan,
saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya
seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari
Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah
mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang
lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan
kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun
terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa
mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”
Ya, dalam perspektif hegemoni superpower terutama di mata
Presiden Richard Nixon (1969-1974), Indonesia adalah target kolonialisme
Amerika semenjak dulu. Cuplikan tulisan Charlie Illingworth, penulis
Amerika, mungkin bisa dijadikan salah satu referensinya:
“Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia
diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di
dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina.”
Menurut BK, cengkeraman struktur ekonomi kolonial dapat disimak
berdasarkan tiga ciri: (1) Indonesia diposisikan sebagai pemasok bahan
mentah bagi negara-negara industri maju; (2) Indonesia diposisikan
sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara
industri maju; dan (3) Indonesia diposisikan sebagai pasar untuk
memutar kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri
maju tersebut.
Tatkala sekarang Indonesia menjumpai keterpurukan dalam hal peradaban
dan moral sebagaimana diurai di muka tadi ---akibat tiga faktor
pendorong (driving force) di atas--- maka pertanyaan yang
timbul, “Bukankah hal-hal tersebut adalah bagian dari neokolonialisme
dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual dan kontrol fisik
secara langsung oleh asing melalui segelitir elit dan kompradornya,
sebagaimana isyarat BK?”
Sekali lagi, pertanyaan pamungkas pada catatan ini: “Mengapa semua itu terjadi di Bumi Pertiwi?”
Jawabannya simpel, kita tidak mau berkaca pada kejadian yang lalu-lalu
maupun masa akan datang, tetapi cenderung mengutamakan kepentingan
sejenak (politik praktis)!
Sumber :
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar