Desa
memiliki hak membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes atau BUM Desa).
Sesunguhnya sinyal itu mulai muncul pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009.
Namun, BUM Desa mulai menjamur setelah secara eksplisit tertera dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dukungan Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten cukup besar. Kementerian/Lembaga juga sudah mulai
meresponnya dengan melibatkan BUM Desa dalam program/kegiatan pengembangan
ekonomi masyarakat desa. Kendati demikian upaya Pemerintah Daerah dan
Pemerintah ini dinilai belum optimal. Lahirnya Undang-undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa diharapkan dapat menjadi sumber spirit baru BUM Desa.
Undang-undang
No. 6 Tahun 2014 menegaskan kembali bahwa Desa dapat mendirikan Badan Usaha
Milik Desa. BUM Desa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan
usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
Ketentuan
tentang Badan Usaha Milik Desa dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 diatur
dalam Bab X, dengan 4 buah pasal, yaitu Pasal 87 sampai dengan Pasal 90. Dalam
Bab X UU Desa ini disebutkan bahwa Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa
yang disebut BUM Desa yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan. Usaha yang dapat dijalankan BUM Desa yaitu usaha di bidang
ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa dan
ditetapkan dengan Peraturan Desa.
BUM
Desa dirancang dengan mengedepankan peran Pemerintah Desa dan masyarakatnya
secara lebih proporsional. Bila bercermin kepada peran Pemerintah Desa dalam
pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat selama ini, maka melalui model BUM
Desa ini diharapkan terjadi revitalisasi peran Pemerintah Desa dalam
pengembangan ekonomi lokal/pemberdayaan masyarakat.
Secara
teknis BUM Desa yang ada sekarang masih mengacu kepada Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa. Dengan hadirnya
UU Nomor 6 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, maka
kedepan Desa mendapat peluang yang lebih besar untuk meningkatkan perannya
dalam pengembangan ekonomi masyarakat perdesaan. Dalam hal ini BUM Desa
dapat menjadi instrumen dan dioptimalkan perannya sebagai lembaga ekonomi lokal
yang legal yang berada ditingkat desa untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan pendapatan desa.
Saat
ini BUM Desa diberi peluang untuk mengembangkan berbagai jenis usaha sesusai
dengan kebutuhan dan potensi desa. Adapun jenis-jenis usaha tersebut meliputi:
1) jasa 2) penyaluran sembilan bahan pokok, 3) perdagangan hasil pertanian;
dan/atau 4) industri kecil dan rumah tangga.
Contoh
dari usaha jasa adalah jasa keuangan mikro, jasa transportasi, jasa komunikasi,
jasa konstruksi, dan jasa energi. Usaha penyaluran sembilan bahan pokok, antara
lain beras, gula, garam, minyak goreng, kacang kedelai, dan bahan pangan
lainnya yang dikelola melalui warung desa atau lumbung desa. Usaha perdagangan
hasil pertanian meliputi jagung, buah-buahan, dan sayuran. Terakhir usaha
industri kecil dan rumah tangga, seperti makanan, minuman, kerajinan rakyat,
bahan bakar alternatif, dan bahan bangunan.
Jenis
usaha yang banyak diusahakan oleh BUM Desa yang sudah ada sekarang baru jenis
usaha jasa, itupun baru sebatas jasa keuangan mikro. Dari ketentuan yang ada,
BUM Desa dapat mengembangkan berbagai jenis usaha sesuai dengan kebutuhan dan
potensi desa. Sebagai rintisan, unit usaha keuangan mikro sangat potensial
dijadikan cikal bakal pembentukan BUM Desa. Strategi inilah yang tampaknya
dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Dalam hal
ini, keberadaan UED-SP (Usaha Ekonomi Desa–Simpan Pinjam) yang sehat menjadi
syarat pembentukan BUM Desa di Kabupaten Rokan Hulu.
Di
Pusat salah satunya Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang
memiliki komitmen untuk mengembangkan lembaga perekonomian desa, termasuk BUM
Desa.
Sejak tahun 2009 KPDT telah memberikan kepercayaan kepada BUM
Desa untuk mengelola Moda Transportasi yang diadakan melalui Dana Alokasi
Khusus Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal (DAK SPDT). Hal ini
ditegaskan dalam Petunjuk Teknis DAK SPDT yang dikeluarkan oleh KPDT.
Salah
satu target yang ingin dicapai dari keberadaan sarana dan prasarana perdesaan
yang didanai oleh DAK SPDT adalah meningkatnya pergerakan barang/penumpang dari
pusat-pusat produksi menuju pusat-pusat pemasaran, dan meningkatnya akses
masyarakat di perdesaan daerah tertinggal terhadap pelayanan publik.
Inisiatif
KPDT untuk memberikan kepercayaan kepada BUM Desa dalam pengelolaan Moda
Transportasi bantuan DAK SPDT tampaknya tidak serta merta disambut oleh
Pemerintah Kabupaten Tertinggal. Salah satu kendalanya karena sebagian besar
dari kabupaten tertinggal tersebut belum memiliki BUM Desa.
Beberapa
kabupaten tertinggal yang memberanikan diri memberikan mandat kepada BUM Desa
ternyata juga belum mendapatkan hasil yang menggembirakan. Faktor kesiapan BUM
Desa dalam mengelola usaha masih menjadi kendala.
Kondisi
ini menjadi pertanda bahwa masih dibutuhkan upaya panjang untuk menjadikan BUM
Desa sebagai pelaksana pembangunan perekomian perdesaan. Dibutuhkan sinergi dan
dukungan yang sepadan dari pemerintah dan pemerintah daerah.
Ada 4
(empat) agenda pokok yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan peran BUM Desa,
yaitu :
- Pengembangan dan Penguatan
Kelembagaan.
Tahapan ini meliputi: perumusan regulasi/pengaturan, dan penataan
organisasi. Pemerintah harus merivisi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
39 Tahun 2010 dalam hal ini perlu menyesuaikan dengan Undang-undang No. 6
Tahun 2014, serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014. Jika mengacu
kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010, maka Daerah
diharapkan untuk:
- Menyusun Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan BUM Desa yang minimal memuat tentang: bentuk organisasi, kepengurusan, hak dan kewajiban, permodalan, bagi hasil, keuntungan dan kepailitan, kerja sama dengan pihak ketiga, mekanisme pertanggungjawaban, pembinaan, dan pengawasan masyarakat;
- Mengoptimalkan peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa) dalam pembinaan terhadap BUM Desa;
- Penguatan kapasitas (capacity
building).
Mencakup pemberdayaan, pelatihan, dan fasilitasi secara berjenjang.
Pemerintah melakukannya kepada Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Daerah
melakukannya kepada Pemerintah Desa dan BUM Desa;
- Penguatan Pasar.
Setelah BUM Desa berdiri diharapkan melakukan kerja sama dengan pihak
ketiga, perluasan pasar, dan mendapatkan fasilitasi akses terhadap
berbagai sumber daya;
- Keberlanjutan.
Mencakup pengorganisasian, forum advokasi, dan promosi sehingga
mendapatkan wujud BUM Desa yang ideal serta semakin mendapatkan dukungan
dari berbagai kalangan terutama masyarakat dan dunia usaha.
Masalah
terbesar yang dihadapi Pemerintah Desa dalam mendukung kehadiran dan
mengoptimalkan peran BUM Desa adalah cengkraman Kementerian/Lembaga yang sudah
kecanduaan mengelola kegiatan yang langsung ke tingkat desa.
Kehadiran
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diharapkan mampu memaksa seluruh
pihak terkait untuk konsisten memberikan peran yang lebih besar kepada
Pemerintah Desa didalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat
Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
Termasuk dalam memberikan peran yang maksimal kepada BUM Desa dalam
mengembangkan kegiatan ekonomi perdesaan.
Kesemrawutan
kelembagaan ekonomi masyarakat desa yang muncul akibat ego sektoral dan tidak
berdayanya Pemerintah Desa dalam memutus mata rantai ini diharapkan dapat
terjawab dengan hadirnya BUM Desa dan paradigma baru pengelolan desa sesuai
spirit UU Desa. (akbar.mbojo)
Penulis : Aris Ahmad Risadi
- Tulisan diadaptasi dari Makalah
yang disampaikan untuk acara “Kongres Gerakan Desa 2014” di Hotel
Grand Cempaka - Jakarta, 5-6 September 2014.
- Penulis adalah Ketua Perkumpulan
Studi dan Pembangunan Indonesia (PSPI), anggota Relawan Desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar