Oleh : Kisman2000
Di dalam bebagai regulasi
telah diberi pengertian dengan jelas dan gamblang tentang definisi Desa,
sehingga tidak lagi memberi ruang untuk ditafsirkan berdasarkan selera
subyektif lainya, baik atas dalil kekuasaan komunal dan apapun namanya sejauh
ketentuan yang menjadi payung hukumnya belum dilakukan revisi/perubahan yang
menyangkut materi aturan mengatur definisi lain. Sehingga hal tersebut dapat
menjadi ukuran kita memiliki sifat mental yang konsisten atau sebaliknya dalam
menjalankan aturan yang kita produk sendiri.
Maka sebagai landasan
dalam uraian ini dipandang sepatutnya untuk dikemukakan tentang definisi Desa
dan Daerah Otonom berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa,
dimana di dalam ketentuan umumnya disebutkan bahwa :
”Desa atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Sebagai bahan komparasi
secara tekstual dari definisi tentang Desa tersebut, maka dipandang perlu untuk
diketengahkan uraian definisi Daerah Otonom dalam memudahkan kita untuk
menelusuri posisi Desa dalam perspektif Otonomi Daerah yang secara spesifik
dikaitkan dalam bentuk implementasi dari amanat ketentuan Regulagisi yang ada.
“Daerah Otonom selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Jika pada giliranya kita
mengupas hal tersebut dengan menggunakan segala potensi ketajaman pisau
analisa, maka akan ditemukan pengakuan tentang Kedaulatan Desa dari Negara
bukan dari Daerah, karena baik secara Eksplisit maupun secara inplisit Desa dan
Daerah pada posisinya menjadi relatif sama. Namun dalam prakteknya justeru
berada dalam kondisi yang berbeda, Daerah memiliki peran yang relatif besar
mendominasi Desa sehingga posisi Desa menjadi SUB ORDINAT dalam
implementasi Otonomi.
Segala bentuk aktifitas
Pemerintahan Desa selalu diatur oleh Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk
menjalankan hak dan kewenangannya. Desa diposisikan sebagai SUB-SISTEM
Pemerintahan Daerah, padahal jika kita
mengacu pada regulasi yang ada maka desa memiliki hak OTONOM sebagaimana daerah
memilikinya, namun demikian kecenderungan daerah masih separuh hati untuk
memberikan kewenangan secara penuh sehingga Desa dengan segala kondisi ke-tak-berdaya-an
akibat teramputasi hak-haknya sehingga berada dalam kondisi “PASRAH TAPI TAK MERELA”.
Kedudukan dan kewenangan
Desa yang terelaborasi pada regulasi tersebut sebagai bentuk pengakuan oleh
Negara melalui Pemerintah Pusat atau disebut Pemerintah baik tentang kedudukan
Desa yang secara Eksistensi dan Esensial
di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa berada pada
gerbang yang secara teritorial pada wilayah Otonom III (tiga), setelah daerah
Kabupaten/Kota sebagai wilayah Otonom II (dua) dan Provinsi wilayah Otonom I
(satu) yang diserahi dan atau di delegasikan oleh Pusat/Nasional atas nama
Negara dengan mendasarinya atas Azas Rekognisi, Azas Desentralisasi dan Azas
Dekosentrasi.
TINJAUAN ASAS DESA
Asas Rekognisi berarti mengakui bentuk, hak
dan kewenangan asal usul (otonomi asli).
Apabila desa diberi kedudukan sebagai komunitas yang mengatur dirinya sendiri
berdasarkan asal usul dan hak-hak tradisionalnya maka kewenangan yang dimiliki
oleh desa adalah kewenangan asli.
Asas Desentralisasi berarti membentuk desa otonom
dan menyerahkan kewenangan kepada desa otonom, seperti halnya daerah otonom. Apabila desa
ditempatkan sebagai wilayah otonom tingkat III, maka kewenangan desa adalah
kewenangan yang “diserahkan” dari pemerintah atas nama Negara.
Asas Dekosentrasi berarti pendelegasian/pelimpahan
dan membentuk desa yang disertai tugas pembantuan. Apabila desa
ditempatkan sebagai unit pemerintahan maka kewenangan desa adalah kewenangan
yang “didelegasikan” oleh pemerintahan atasannya atau tugas pembantuan.
TELAAH
REGULASI
UUD
1945
: Pasal 18 memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat
hukum adat dan membagi wilayah (desentralisasi teritorial) ke dalam provinsi
dan kabupaten/kota serta tidak secara eksplisit menyuruh UU 32/2004 meletakkan
desa (atau nama lain) dalam subsistem kabupaten/kota. Tetapi UU 32 justru
meletakkan desa dalam subistem kabupaten/kota, maka secara hirarki kedudukan UU
32/2004 dalam pengaturan penempatan Desa menjadi sumir.
Eksistensi
UU No. 32/2004
: Pasal 2 ayat 1 berbunyi: “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai
pemerintahan daerah” dan Pasal 200 ayat 1 berbunyi: “Dalam pemerintahan daerah
kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan
Badan Permusyawaratan Desa”, maka setelah pembentukan Pemerintahan Desa dan
atau sudah ada, sehingga layaknya memiliki kedudukan sama dalam Otonom.
Esensi
UU 32/2004 :
mempertegas “otonomi asli” sebagai prinsip pemerintahan desa. “Otonomi asli”
berarti identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat atau hanya Desa Adat.
Kalau desa adat berarti desa bukan unit administratif atau satuan pemerintahan.
Tetapi dengan mengacu pada bentuk dan pengalaman desa-desa di Jawa, UU juga
menempatkan desa sebagai satuan pemerintahan. Sehingga satuan pemerintahan yang
diberikan hanya “desa administratif” (the local state government)
seperti kelurahan sebagai SKPD Kabupaten.
Secara
Teoritis :
tidak dibenarkan otonomi dalam otonomi atau desa dalam kabupaten. Sebab yang
mengakui (rekognisi) dan memberikan (desentralisasi) adalah negara melalui
pemerintah nasional (pusat), maka realitas yang ada telah terjadi pengingkaran
sehingga POSISI DESA AMBIVALEN.
TEAM IRE Fundasion
Yogyakarta dalam telaah kritis isu-isu strategis tentang Desa, telah berhasil
merumuskan sebuah kajian akademik rancangan regulasi tentang Desa sebagai
bentuk antissa atas inkonsistensi penerapan regulasi Daerah Otonomi yang
berdampak pada kondisi UTHOPIS DESA, sehingga dengan besar
harapan adanya aturan yang ideal untuk Desa. Kendatipun disadari bahwa aturan
dibuat dalam racikan bahan-bahan yang berkwalitas dan ditulis dengan tinta emas
sekalipun semuanya akan berpulang pada sikap konsistensi dan komitmen
Pemerintah atasan yang diejawantahkan pada Political will dan Political aksen. @Q2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar