BY. KISMAN 2000
KM. Walet Selatan.
Setelah
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang DESA disahkan di Jakarta tertanggal 15
Januari 2014 dan lebih lanjut diundangkan pada Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2014. Kemudian secara berturut-turut dijabarkan ke dalam
PP No. 43 jo PP No. 60/2014, maka sejak terhitung Tahun 2014 Pemerintah baru
menyerahkan Hak Otonomi kepada DESA, pada hal secara konstitusi Desa sejak
Negara Indonesia merdeka telah memiliki kedudukan kuat dan bersifat fundamental
melalui azas Rekognisi didalam konstitusi yaitu pengakuan hak asal usul dan
adat istiadat yang dimilikinya sebagaimana penegasan lebih lanjut pengakuan di dalam
ketentuan umumnya UU No. 6/2014 :
“Desa
adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.”
Memasuki
masa berlaku efektifnya UU No 6/2014 kendati masih ditunggu jabaran di dalam
Permendagri dilanjutkan dalam Peraturan Daerah (PERDA), baik yang dilakukan
dalam bentuk revisi terhadap PERDA yang sudah ada maupun dirumuskan baru perlu
dikedepankan pertimbangan rasa keadilan hukum dengan tidak adanya unsure
kesengajaan melemahkan hukum atas nama hukum. Sebagaimana ketentuan regulasi
yang pernah ada, seperti keberadaan PERDA No. 6/2006 maupun PERDA No. 7/2006
memiliki kecenderungan menciderai hukum dan bahkan berpotensi melemahkan hukum,
dengan meletakkan pasal yang memberi kekebalan “IMUNITAS” untuk Kepala
Desa dan Anggota BPD dalam menghadapi proses hukum jika tersangkut tindak
Pidana. Untuk mencegah terciderainya AZAS EQUOLITY HUKUM yang
artinya menempatkan kesamaan hak dan kedudukan di depan hukum. Azas hukum
tersebut merupakan jaminan konstitusi, sebagaimana pengakuan yang mempertegas tanpa
pengecualian di dalamnya. “Setiap warga Negara sama di depan hukum………..”.
Namun
berdasarkan pengalaman yang ada bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Bima
sebagaimana otoritas yang dimilikinya telah menetapkan Peraturan Daerah yang
mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan DESA, sebagai bentuk pelaksanaan
kewenangannya diantaranya dengan membuat PERDA No. 6/2006 jo PERDA No. 7/2006
dengan memberikan ruang untuk adanya penerapan “HAK IMUNITAS” kepada Kepala Desa dan anggota BPD sehingga
menciderai hukum. Kendatipun berbentuk perlunya persetujuan/ijin dari Bupati, jika Kepala Desa dan Anggota BPD
tersangkut masalah hukum walaupun adanya pengecualian.
Sebagaimana ketentuan PERDA No. 6/2006 Tentang
Tatacara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa yang
diatur di dalam BAB VIII Pemberhentian Kepala Desa :
“ Pasal 29
(1) Tindakan
penyidikan terhadap Kepala Desa, dilaksanakan setelah adanya persetujuan
tertulis dari Bupati;
(2) Hal-hal yang
dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :
a.
Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b.
Diduga telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman
mati.
(3) Tindakan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberitahukan secara tertulis oleh atasan
penyidik kepada Bupati paling lama 3 (tiga) hari.”
Adanya
kecenderungan yang terjadi dalam penerapan otonomi seolah menjadi alasan untuk
memberi garansi dalam menggunakan kebebasan. Sebagaimana ketentuan Perda tersebut,
dapat memberi makna adanya sikap perbedaan perlakuan hukum antara warga Negara.
Hanya lantaran punya posisi menjadi bahagian dari instrument Pemerintahan
lantas menjadi alasan adanya perlakuan yang beda dan atau dibeda-bedakan.
Sebagaimana ketentuan
PERDA NO. 7/2006 Tentang Badan Permusyawaratan Desa BAB VI Tentang Tindakan Penyidikan Terhadap Anggota
BPD yang dirumuskan di dalam:
“ Pasal 25
(1) Anggota BPD tidak
dapat dituntut secara hukum karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan
dalam Rapat BPD yang diajukan secara lisan dan / atau tertulis;
(2) Tindakan
penyidikan terhadap anggota BPD dilaksanakan setelah mendapat persetujuan
tertulis dari Bupati;
(3) Hal – hal yang di
kecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah :
a. Tertangkap tangan
melakukan tindak pidana kejahatan;
b. Diduga telah
melakukan tindak Pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati.
(4) Tindakan
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan oleh atasan
Penyidik kepada Bupati selambat –lambatnya 3 (tiga) hari.”
Tahun
2014 merupakan tahun emas bagi DESA, setelah ditandai adanya pengakuan Negara
atas terealisasinya hak konstitusi yang dimilikinya, karena eksistensi Desa
telah memiliki kedaulatan dalam menggunakan hak dan kewenangan mengatur dan
mengurus untuk kepentingan masyarakatnya dalam ikhtiar mendorong akselerasi
pembangunan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi tidak juga
dimaknai sebagai kesempatan untuk melaksanakan kekuasaan yang meletakkan
kewenangan sampai melemahkan posisi hukum, meskipun salah satu fungsi hukum itu
sendiri sebagai alat rekayasa social.
Hakekat Otonomi
Desa adalah merupakan upaya mendekatkan, memudahkan dan mempercepat pelayanan serta
memberi ruang partisipasi secara luas bagi masyarakat untuk mencapai kemajuan
dan kemandirian Desa sebagai representasi kemajuan negara. Maka dalam perumusan
berbagai regulasi perlu menerapkan pola partisipatif secara legal drafting,
agar masyarakat sadar akan adanya aturan yang akan mengikatnya. Untuk
menunjukan komitmen atas pengakuan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara hukum,
maka bukan alasan kewenangan dan otonomi sehingga ada motivasi untuk melemahkan
hukum.
Adanya
kecenderungan yang terjadi dalam penerapan otonomi seolah menjadi alasan untuk
memberi garansi dalam menggunakan kebebasan, termasuk adanya kebebasan membuat
Peraturan dengan sengaja menyiasati hukum guna memberi pemihakan terhadap para
aparat pemerintahan serta para fungsional hukum lainya. Sebagaimana penjabaran
Pasal tersebut diatas tidak sedikit memberi ruang Kepada Para Kepala Desa dan
Anggota BPD yang memiliki kasusnya mangkrak. Karena celah hukum tersebut
membuka ruang untuk bisa memperlambat atau menghambat proses penanganan sampai
mengkaburkan makna keadilan sebagai capaian penegakan hukum.
Perbedaan
perlakuan hukum sebagaimana hal tersebut diatas menggambarkan adanya “HAK
IMUNITAS” bagi Kepala Desa dan Anggota BPD dengan perlunya persetujuan/ijin
Bupati sebagai atasannya, baru bisa dilakukan proses oleh pihak penyidik. Padahal
dengan tegas dan jelas pengakuan konstitusi menempatkan seluruh warga Negara
adalah sama kedudukannya didepan hukum dan Pemerintahan, tanpa adanya
pengecualiannya bagi setiap warga Negara. Jikapun harus dilakukan perbedaan
maka akan perjelas adanya pembagian classter warga Negara, sehinga untuk
memenuhi rasa keadilan dalam penerapan hukum. Agar adanya keadilan sebagai
warga masyarakat biasa jika tersangkut hukum merasa perlu adanya “SUAKA
HUKUM MUTLAK” setidak-tidaknya harus menunggu persetujuan/ijin dari
Allah SWT.
Maka
untuk adanya ikhtiar bersama dalam penegakkan hukum tanpa memihak dalam rangka
mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh warga Negara. Hingga penting mengantisipasi
adanya upaya menciderai hukum, perlu tindakan antisipasi dengan tidak memberi
ruang lagi pada regulasi untuk menetapkan aturan yang menciderai “AZAS
EQUOLITY FOR LAW” (Pengakuan Persamaan kedudukan di depan hukum), maka Kepala
Desa maupun Anggota BPD tidak merasa penting untuk menjadikan PERDA tersebut
sebagai tameng. Termasuk Pasal-pasal pada PERDA No.6/2006 dan PERDA No.7/2006
tersebut diatas perlu dilakukan revisi dan atau dicabut sekalian, agar tidak
tercipta kondisi perbedaan sebagai warga negara. Begitu pula adanya ketentuan
perundang-undangan lain yang memberi “KEKEBALAN
HUKUM” kepada para penyelenggara Negara lainnya perlu dilakukan peninjauan
kembali.@Q2000/2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar