BY. KISMAN 2000
KM. Walet Selatan
Jika relasi tuhan dengan mahluk atau sebaliknya lebih
khusus manusia dimaknai dalam hubungan ibadah sebagai bentuk realisasi komitmen
kontrak primordial pada zaman azali di dalam rahim dengan kondisi tanpa Hijjab/pembatas
(dinding) antara Allah dengan Hamba melalui MoU “ MEMORANDUM
OF UNDERSTANDING” yang dielaborasikan dalam bentuk pernyataan didalam (bil ayat ) (………….Alastu bi Rabbikum Qaalu
Balaa Sahidna) “Apakah aku ini tuhan mu…..,? Ya..! aku
bersaksi “ dimana dialog ini sebagai bentuk pernyataan DEKLARASI
ABADI telah ditetapkan atas pengakuan antara Abid dengan ma’bud (menyembah
dan disembah) oleh karena demikian bahwa implementasi ibadah merupakan
bentuk sikap dan tindakan PENGABDIAN ( tanpa pamrih ) diaktualisasikan
dalam Niat, Sikap dan Tindakan yang dinafasi rasa keikhlasan secara paripurna
(kaffah) dengan yakin tanpa ragu serta tanpa bermaksud mensyarikatkan Allah dengan
yang lainnya dalam beribadah kepadanya.
Kerangka makna Ibadah dalam tulisan ini secara jamak
yakni segala bentuk Niat, Sikap dan Tindakan yang baik dilakukan dalam 3 (tiga)
Dimensi Relasi yakni (Hablum
Minallah, Hablum Minannas dan Hablum Minal Alam) hubungan manusia
dengan Allah, Manusia terhadap manusia dan manusia terhadap alam dengan tulus
dan ikhlas, maka ibadah adalah refleksi pengabdian diri atas orientasi hidup
untuk melaksanakan kebaikan dan meninggalkan larangan yang dilandasi keikhlasan
semata tanpa mensyarikatkan Allah dengan yang lainnya.
EKSISTENSI MANUSIA hidup pada hakekatnya untuk mendapat PENGAKUAN, Karena orientasi manusia
hidup itu bagaimana mendapatkan predikat MANUSIA UTAMA di dunia yakni manusia
dalam hidupnya dinilai atas KE-MANFAAT-AN, dapat bermanfaat untuk dirinya, untuk
orang lain dan alam sekitarnya serta Predikat HAMBA TAQWA di akhirat
yaitu manusia yang ( Taqarub, Qina’ah dan Wara’ ) menjalankan atas perintah dan
meninggalkan/menjauhi segala larangan dalam kerangka ibadah kepada-Nya.
Berorientasi hidup menjadikan diri kita yang
utama/terbaik di dunia adalah mutlak, walau disadari hal itu tidak semudah kita
harapkan, karena butuh proses dan menjadi ukuran kemampuan kita dalam Mengelola
Hidup dan Merencanakan Masa Depan dengan rumus (MHM2D), maka untuk
ukuran mengetahui baik/utama yaitu
bilamana bermakna dan dapat dirasakan manfaatnya oleh diri sendiri dan manusia
lain yang pada gilirannya hal tersebut dinilai atas penilaian manusia terhadap
manusia lain dalam kehidupan Sosial, jika dia ada maka akan selalu dibutuhkan
dan jika tiada orang lain akan merasa kehilangan. Hal ini didasari atas
pengakuan pada diri Rasulullah Muhammad Saw sebagai suri tauladan yang baik ( Uswatun
Hasanah ) karena Rasulullah adalah sebagai bentuk representasi manusia
pilihan/utama, sungguh kehadirannya sebagai Rahmatan lil Alamin bukan
saja untuk umat Islam, maka tidak menjadi tidak mustahil kita tak bermaksud
mengambil keteladanan Rasulullah sebagai motivasi diri menjadi yang utama.
BILA
IBADAH TANPA PAHALA MASIHKAH MANUSIA MAU BERIBADAH KEPADA ALLAH…?
Logika beribadah dengan landasan Penghargaan/Hadiah dan
hukuman “REWARD AND PHUNISMEN” dalam bentuk pahala yang berorientasi
Surga dan dosa yang orientasinya Neraka adalah
symbol ibadah yang dimotivasi pamrih, akan menjadi lain ketika kita memaknai
bahwa setiap amal ibadah dengan mengharap pahala, apalagi yang diorientasikan
dengan hal yang lebih jauh seperti akan mendapat ganjaran SURGA sebagai hadiah atas amalan
baiknya manusia. Konstruksi berpikir orientet dalam menjalankan ibadah dengan
meletakkan niat untuk mendapat imbalan pahala dan ganjaran Surga adalah bentuk
” KERANCUAN
NALAR DALAM BERIBADAH “, maka tidaklah menjadi heran manusia khususnya
umat islam telah terbentuk dalam dogma tendensius akibat dari dangkalnya
pemahaman terhadap Agama serta pencapaian tujuan beragama. Berhubungan dengan
tuhan saja memiliki tendensi apalagi dengan sesama manusia dan makhluk lainya,
betapa hal tersebut menunjukkan bahwa ajaran islam “ berhitung secara ekonomistic “
yakni tentang untung dan rugi dalam beribadah yang seolah sama dengan managemen
dagang ( niaga ). Karena konstruksi berfikirnya cukup sederhana, jika aku
dengan melakukan apa untuk mendapat apa serta ukurannya berapa, maka tanpa sak
lagi hal tersebut sungguh menjadi motif ibadah yang rapuh dan sumir, sebaliknya
jika tak mendapatkan apa-apa menjadi mustahil untuk dilaksanakan.
Beribadah kepada Allah merupakan bentuk perwujudan dalam
manivestasi niat, sikap dan tindakan/perbuatan diri sebagai hamba dalam PENGABDIAN atas ridho Allah untuk
merealisasikan eksistensi pengakuan ke-hamba-an terhadap-Nya. ( Syech Radiyatul
Adawiyah ) seorang sufi terkemuka berdo’a dalam setiap ibadahnya kepada Allah
dengan maksud malakukan penegasan atas ke-hamba-annya “ Ya…Allah, jika dalam ibadahku
dengan berharap pahala untuk memperoleh Surgamu maka masukanlah aku ke dalam
Nerakamu”, ini dimaksudkan dimana manusia diajarkan untuk
dapat menyadari kapasitas sebagai hamba “ Aabidu
“ dengan diberi hak otonom untuk mengatur diri dalam setiap perbuatan
ibadah kepada Allah semata. (Bil ayat ) “….Jin wal insan ila liya’buduun
“ manusia dan jin diciptakan hanya
untuk menyembah (beribadah) kepada Allah . Yakni beribadah dengan
menyerahkan diri secara kaffah dalam setiap ibadah tanpa ragu dan hanya
kepada-Nya tempat “ Maujudnya “ sesuatu dan tak perlu mensyarikatkan-Nya pada
sesuatu apapun juga.
Dengan memahami kapasitas diri manusia, maka akan ada
pesan untuk bersikap dan bertindak seadanya dan ideal. Allah bukan tanpa kuasa
mengurus segalanya menciptakan malaikat dengan mendelegasikan sebagian
kewenanganya sehingga diberi masing-masing peran/tugas menyelenggarakan untuk urusan
manusia dan mendampingi manusia, setelah manusia mengakui dirinya sebagai Hamba
Allah dengan tugas mengabdi kepada- Nya. Maka manusia dalam beribadah tak patut
berharap apalagi mematok pamrih pahala dan kemudian menghayal surga menjadi
bahagiannya, karena atas kemampuannya menusia tidak kurang mereka berhitung
setiap amalan yang dilaksanakannya, dengan demikian bila kecenderungan berfikir
pada pendekatan rumus berhitung BERIBADAH X PAHALA = SURGA ≤ (EKWIVALEN)
DENGAN KERANCUAN NALAR BERIBADAH sehingga NILAI IBADAH AKAN MENJADI SUMIR,
dapat dirasakan suatu kepatutan dirinya mendapat imbalan pahala dan hadiah
surga baginya. Maka dengan demikian tidak sedikit kecenderungan yang terjadi,
lantaran rutin/intens berada di masjid merasa menjadi AHLI IBADAH dan seolah-olah berhak meng-klaim Surga
tempatnya, lantaran berdasarkan hitungan dan nilai intensitas kegiatannya dalam
beribadah, belum lagi keberadaan dirinya di-simbol-kan dalam tampilan
berjenggot lebat, bersorban panjang dan berjidad hitam,
lupa kalau itu bukan ukurannya dan jika hal tersebut ada maka benar kita
mengenal islam symbolik dan ibadah simbolitas.
Mental beribadah yang didasari orientet dalam
pengharapan, apalagi atas kemampuan perhitungan manusia mematok keuntungan yang
diperoleh dari sejumlah investasi ibadahnya bernilai surga, maka akan sama
dengan sikap mendaulati/ meng-acak-acak kewenangan Allah dan dengan demikian
manusia bermaksud untuk pengabaian kewajiban malaikat yang diberi tugas untuk mencatat/menilai
amalan manusia dan hak Allah untuk mengadili dalam rangka menetapkan
keputusannya. (Bil ayat ) ”…….. Alaisallahu
bi ahkamil hakimiin “ Sungguh Allah adalah hakim yang seadil-adilnya.( Wallahu
a’lam). @Q2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar