KM, Walet Selatan.
Media massa merupakan salah satu sarana
bagi masyarakat sipil untuk dijadikan sebagai suatu wahana untuk mendapatkan
Informasi dari berbagai belahan Dunia manapun. Karena kemampuan Media melampaui
kekuatan Supranatural, sehingga masyarakat sipil berbondong-bondong menjadi
konsumen media massa (cetak maupun elektronik). Ada Adigium yang cukup terkenal
di Jurnalistik yaitu “siapa yang menguasai informasi (media) maka ia
menguasai dunia”. Begitulah istilah yang santer kita dengar. Istilah
seperti ini memang tidak muncul dengan tiba-tiba melainkan muncul berdasarkan
pada realitas kehidupan di masyarakat yang dituntut untuk melek terhadap informasi.
Mungkin kita masih ingat pada pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden tahun kemarin (09/April/14), antara dua kandidat
yang diusung oleh masing-masing Partai Koalisi. Dengan menggunakan kekuatan
media massa, kedua calon dipublikasikan sebagai figur dengan berbagai
Kredibilitas macam-macam. Konstruksi media terhadap figur dengan menanamkan
Ideologi dan kesamaan nasib, mampu meraih suara dengan Elektabilitas melampaui
Nalar rasio. Secara tiba-tiba mereka tampil bak Pahlawan yang akan memberikan
solusi kepada rakyat kecil, tentang Kesejahteraan, Pelayanan Kesehatan,
Pendidikan, Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat dan sebagainya, Menjadi jualan
politik yang cukup laris manis.
Kemampuan media mencitrakan tokoh dengan
berbagai label, tentu menjadi suatu fenomena yang menarik untuk ditelusuri
lebih jauh. mengingat media adalah sarana publik yang harus Independent
sekaligus memberikan Pendidikan Politik terhadap Masyarakat, bukan malahan ikut
berkontribusi melakukan Stigmatisasi atau penjajahan kepada masyarakat. Dua
figur yang bertarung di arena kontestsi panggung politik, adalah orang-orang
dengan memiliki kans politik (Cost Politik) yang besar, dengan sokongan Media
Massa yang berafiliasi dalam beberapa partai tertentu sehingga Distribusi
Informasi sangat cepat sampai kepolosok desa. Jokowi dengan jargon kerja, kerja
dan kerja berpihak kepada wong cilik, apalagi sebagian besar dari penduduk
indonesia berasal dari kelas menengah ke-bawah, sehingga hanya dengan
menggunakan sedikit strategi blusukan maka ia sudah mendapatkan banyak
pendukung dari grass root. Walau pada ujung-ujungnya jokowi menaikan harga BBM
dengan berbagai dalih dan rasionalisasi neolib.
Tentu menjadi calon presiden tidak hanya
cukup memiliki modal muka ndeso, penampilan sederhana, blusukan dan pandai
bernegosiasi dengan pedagang kaki lima. Akan tetapi disinilan peran media massa
membangun (Konstruksi) citra Jokowi sebagai calon yang dinantikan oleh
masyarakat. memang masyarakat membutuhkan figur yang benar-benar dari kelompok
mereka memperjuangkan aspirasi rakyat seperti disebutkan diatas tadi. Namun
dengan sedikit polesan media maka ia tampil sebagai Ratu Adil bagi masyarakat,
ditengah carut marutnya bangsa indonesia dengan kasus Korupsi dan segudang
masalah pembangunan yang harus diselesaikan. Hampir tidak mungkin seorang
politisi menjauhkan diri dari Publisitas, yang mengangkat namanya dipentas
nasional. Seoarang politisi harus menjadikan media sebagai mitra yang baik,
saling memberikan Konstribusi yang bersifat Simbiosis Mutualisme, agar tetap eksis
dan dikenal oleh masyarakat luas. Sebab media mampu menggoreng-goreng seseorang
menjadi Supestar dan sekaligus dikucilkan oleh masyarakat. bagai dua sisi mata
uang yang berbeda satu sama lain.
Relasi kuasa bermain pada tataran media
sedikit tidaknya mempengaruhi konten berita, karena sudah barang tentu media
membutuhkan hubungan yang baik dengan birokrasi agar tetap eksis. Kalau tidak
demikian bisa jadi sepi dari pelanggan dan dipersulit oleh birokrasi setempat.
Sudah menjadi watak birokrasi agar kekuasaannya tetap aman dan tidak
digaruk-garuk oleh tetangga, maka media harus ditutup mulutnya dengan
lembaran-lemabaran rupiah. Citra dan nama besar harus tetap dipertahankan walau
harus menghabiskan anggaran jutaan, dengan cara seperti ini.
Mereka bisa mempertahankan
diri dari bisingnya pemberitaan. Sebab jika dipublikasikan file-file hitamnya
maka dengan seketika ia jatuh dan sulit untuk bangun kembali. Karena opini
publik akan menjustice sebelum ketukan palu dari hakim. Disinilah Independensi
media dijual dengan harga yang layak agar dapur rumah tangga tetap mengepul dan
perut anak istri dirumah dapat dipenuhi kebutuhan dasarnya.
Menyandarkan diri pada media mainstrem,
sama halnya membiarkan diri dalam ketololan. karena kita tidak akan mendapatkan
informasi yang berimbang, sehingga proses pendidikan politik tidak bisa
berjalan dengan baik. Pilar ke-empat dari negara model Demokrasi adalah media
massa, sehingga besar harapan masyarakat untuk mengembalikan marwah idealisme
media keasalnya, bukan malah justru menjadi corong atau perpanjangan tangan
dari birokrasi yang korup. Pada saat pemilu dan pasca pemilu presiden dan wakil
presiden, kedua media mainstrem antara Metrotv dan TVONE beraviliasi kedalam
kandidat yang berkontestasi di panggung politik. Jika masyarakat ingin mencari
berita seputar kebaikan dan kesuksesan jokowi selama menjadi walikota solo dan
gubernur DKI Jakarta maka tinggal menyetel chanel Metrotv. Begitupun sebaliknya
jika prabowo yang ingin diketahui trect recordnya maka TVONE jawabannya.
Media mampu memainkan peran sentralnya
untuk menggiring opini publik, mendukung salah satu kandidat yang sudah dikemas
sedemikian rupa, agar tampil dengan jargon-jargon yang sudah disetting dari
awal. Apa yang disebut oleh filsuf postmodernisme Jeand Baudrilart sebagai
“Hiperrealitas”. Dimana kemampuan media mendesain figur didepan layar kaca
sebagai orang yang memang layak untuk dipilih. Padahal sebenarnya apa yang
ditampilkan dimedia belum tentu benar adanya. Karena di dalamnya bukanlah
realitas yang sebenarnya melainkan realitas yang dikonstruksi sejak awal
sehingga dikonsumsi oleh masyarakat luas tanpa adanya proses filterisasi secara
berjenjang. Namun apakah dengan keadaan media kita diidonesia sudah seperti
ini, lalu kita tidak menjadi konsumen media tersebut. Penulis rasa di jaman
modern saat ini dimana dunia sedang mencari bentuk kemjauan (peradaban), maka
teknologi merupakan salah satu sarana yang efektif dalam upaya manusia mengarah
ke-arah kemajuan, sehingga kita sebagai konsumen dituntut untuk melek terhadap
informasi. Maka jalan yang dapat ditempuh adalah dengan membaca media secara
kritis, bukan malah mematikan televisi. Penulis berharap media walet selatan
menjadi jembatan, untuk menumbuh kembangkan pembaca kritis dengan konten berita
yang tidak biasa-biasa saja.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu politik Uin Alauddin Makasar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar